Suatu malam ketiga minggu pertama di awal musim penghujan. Kabut telah turun menyelimuti jalan dengan membawa butiran uap air siap menyapu apa yang dilaluinya. Suara jangkrik dan binatang malam lainnya seakan memecah kebisuaan malam. Terlihat beberapa manusia bersarung penunggu gubug tengah larut dalam perbincangan mereka. Dari atas atap surau seekor burung gagak seakan memberi pesan dengan suara dan tatapannya mengamati segerombolan manusia yang berada dalam gubug. Di satu rumah dekat surau. Dari kejauhan nampak cahaya remang menyinari salah satu ruangan rumah itu. Disana tengah terjaga seorang anak berumur awal dua puluhan. Seperti setiap malam sebelumnya, ia terlihat penuh khusuk menulis lanjutan cerita. Walau di tengah cahaya remang tak membuatnya bergeming untuk berhenti menulis. Ia seakan hapal beberapa saat lagi ibunya akan datang untuk menegur dan menyuruhnya menyalakan lampu utama kamar. Dan benar saja dugaan Marwan, Ibunya datang “Wan, lampu utama kamar tolong di nyalakan. Kasihan lah pada kedua mata mu”. “Iya bu. Marwan baru akan menyalakannya”. Padahal lebih dari 3 jam dia larut menulis.
“Jangan kau bohongi ibu mu wan. “Iya bu maaf, segera Marwan laksanakan”. Marwan menjawab dengan gerakan tangan seperti hormat saat upacara bendera.
“Hmm, kau ini wan, jangan sampai larut malam kau tidur, ingat besok kau harus menemani ayah pergi ke kota”.
“Iya, ibu” kata Marwan agak berat. Tak sampai detik ke dua, Ibu Marwan telah pergi berlalu. Kali ini, matanya nampak lelah bercampur sayup. Ia melihat lampu kamar yang tadinya remang namun sekarang nampak telah kabur. Dilihat semuanya nampak samar-samar, tak perlu waktu lama, ia telah dilanda kantuk. Dalam hitungan detik Marwan telah terbang bebas menuju alam mimpi dan ia merasa semua beban dipikirannya melayang lepas dalam bentuk gambaran kecil. Marwan terlelap di atas lembaran tumpukan kertas, dengan penuh coretan dan di bagian atas halaman agak menjorok ke dalam sedikit tengah terdapat tulisan cukup besar dan tebal berjudul ‘Cerita Dari Dunia’.
Minggu pagi telah datang kembali. Ayam berkokok seperti biasanya sebagai penanda hari baru telah datang menyambut. Embun pagi menyelimuti dedaunan serta bunyi kodok dan orong-orong menjelma bagai nada rutin untuk di dengar. Dalam kabur namun bagai nyata Marwan masih berjalan dalam dunia mimpinya. Ia melihat semuanya tampak begitu menyeramkan. Bayangan masa kecilnya mulai menghantui dalam berbagai bentuk. Tepat ketika pengeras adzan subuh dikumandankan, ibu Marwan menepuk bahunya. “Wan, wan, wan. Sudah adzan subuh. Bangun. Salat man. Ayo”. Marwan seakan mendengar suara ibunya dalam mimpi mencekam itu. Benar saja, badan marwan berkeringat, ia membuka mata bersama hembusan napas panjang dan terpotong-potong. Dengan pucat marwan mengatakan pada ibunya “Marwan bermimpi buruk bu”. “Lain kali berdoa lah ketika akan tidur. Agar kau bisa terhindar dari mimpi buruk, Ayo bangun, ibu tunggu kau di surau”. “Iya bu”. Ibu Marwan pun berlalu dalam remang cahaya kamar. Selang berapa menit berlalu, Marwan sudah berjalan keluar rumah menuju surau samping rumahnya. Ia salat subuh berjamaah seperti hari-hari biasanya.
Telah menjadi kebiasaan bagi anak sebaya, di atas ataupun di bawah usia marwan. Setelah shalat subuh berjamaah di surau. Dengan khidmat dalam sebuah lingkaran kecil, terdiri dari tua muda dan lelaki maupun perempuan melakukan rutinan membaca kitab suci di pimpin oleh kyai Dulah. Dengan posisi duduk di antara dua sujud kyai Dulah siap mengawali pembacaan kitab suci minggu pagi. “Para keluarga serta anak dan cucu ku semuanya. Perlu di ingat, aku sudah mulai menua dan tentunya sudah mendekati masa purna di dunia. Sudah tentu dan pasti tugas ku adalah mengingatkan saya sendiri dan mengajak kalian untuk menjalani perintah dan menjauhi segala larangannya dari Tuhan, dan lakukan kebaikan-kebaikan lainnya. Marilah kita mulai rutinan membaca kitab suci kali ini dengan niat agar hati kita selalu di dekatkan pada Tuhan”. Suasana khidmat dalam damai telah mengalun dalam surau pada awal minggu pagi. Beberapa saat kemudian guyuran hujan telah menyambut.
Jam menunjukan angka lima di antara enam pagi. Hujan telah berubah menjadi rintik sayu. Embun pagi sudah nampak terlihat dengan suara hewan ternak dan suara tangisan bayi seakan memecah keheningan minggu pagi. Bau tanah basah seakan menusuk hidung penghuni surau, namun tidak Marwan yang terserang pilek. Burung-burung kecil berterbangan di atas pohon depan surau, kesana-kemari seakan menyambut selesainya hujan awal minggu pagi. Setelah mereka usai membaca Kitab Suci. Kemudian seperti pada awal pagi biasanya, Kyai Dulah memimpin doa agar jamaah selalu dimudahkan segala urusan, diberi kesehatan, diberi rezeki dan tentunya segala permintaan lainnya pada Tuhan. Marwan seakan hanyut dengan suasana khusuk surau. Kedua tangan marwan menengadah ke atas sambil mulutnya berkata amin, amin, amin dengan kedua matanya terpejam. Bocah laki-laki kecil disamping marwan pun tak luput dalam ke khidmatan doa. Dengan terkantuk mengamini doa Kyai Dulah. Kepala si bocah menunduk dan kedua matanya terpejam sambil mulutnya menyahuti doa dengan kata amin. Bocah kecil itu mengenakan peci putih, baju koko putih serta celana panjang putih kain. Warna putih seakan telah memudar dan bila di lihat dengan seksama warnanya berubah menjadi coklat.
Doa penutup serta pengawal hari telah selesai. Kyai Dulah mempersilahkan para jamaah tetap dan tak tetap surau untuk pergi melakukan rutinitas seperti biasanya. Dan tak lupa setelah doa bersama selesai (atau tepatnya Kyai Dulah mendoakan jamaah), mereka lalu bersalaman satu sama lainnya, sebagai tanda bahwa hidup . Bagai sebuah angka delapan saya harap kalian tetap tersambung dan tak pernah terputus. Bagi marwan apa yang disampaikan kyai Dulah tak ubahnya bagai sebuah nasihat sekaligus wasiat kepada semuanya. Entah marwan terlalu berlebihan atau memang para penghuni surau yang menganggap perkataan Kyai Dulah sebagai basa basi di awal minggu pagi.
Marwan melihat ke arah jam dinding surau yang dahulu berwarna putih namun sekarang terlihat berubah menjadi kecoklatan seperti baju dan celana bocah kecil tadi. Di samping kiri Kyai Dulah terlihat Satim. Dari cerita Kyai Dulah serta para sesepuh desa, Satim adalah salah satu dari garis keturunan langsung pendiri desa. Penduduk luar desa sering menyebut Desa ini dengan nama Desa pinggir, mungkin sebutan itu mengacu karena desa ini terpinggir secara peradaban, ilmu dan semua label dunia modern, serta seakan jauh dari yang namanya pintar serta paham. Satim tak ubahnya bagai tetua di desa pinggir, ia biasa untuk di mintai pendapat oleh banyak orang. Pendapat tentang musim tanam, panen, primbon, weton atau sekedar ditanyai hari bagus untuk pernikahan, nomer togel, judi ataupun tafsir mimpi. Dan para penghuni surau kerap menyebutnya sebagai “Satim si Tukang Tahu”. Hingga suatu ketika Satim beranggapan dirinya tak berbeda sebagaimana orang-orang di desanya yang sama-sama tak tahu apa-apa. Satim pun terkejut mengapa ia dijuluki nama itu.
Penanda waktu jam dinding telah berbunyi beberapa detik lalu. Marwan berpamitan kepada Kyai Dulah dan Satim. Terlihat roman wajah Marwan yang berat seakan penuh beban yang terbaca oleh Kyai Dulah dan Satim. “Kenapa dengan wajah mu wan? apakah kau bertengkar dengan ayahmu lagi?, Kyai Dulah bertanya penuh kehati-hatian. Kemudian di sambung Satim dengan nada ringan sembari mengusap kepala belakang marwan “Wan, sebaiknya kau dengarkan kata bapak mu itu, percaya lah dia adalah orang baik, aku mengenalnya dari kecil hingga sudah setua ini, tentunya aku hapal betul dengan semua tingkah lakunya. Dia hanya butuh waktu untuk mengerti serta paham dengan cita-citamu itu wan”. “Iya Kyai Dulah, Wa Satim” Jawab Marwan dengan senyuman tipis yang merekah pada bibirnya.
Dari belakang tubuh Marwan terdengar suara panggilan dari seorang perempuan. Ya, marwan sangat mengenali suara itu. Itu adalah suara dari ibunya sendiri. Laras binti Kertajaya. “Ayo wan, bapakmu sudah menunggu. Jangan sampai terlalu siang untuk sampai ke kota”. Dengan muka seakan penuh beban, dia berlalu setelah berpamitan dengan kyai Dulah dan Satim. Laras tersenyum dan melambaikan tangannya kepada Kyai Dulah dan Satim sebagai bentuk hormat. Setalah Marwan menuju Laras, di usapnya kepala anak tersayangnya itu. “Kamu harus bisa berdamai dengan bapakmu wan, tidak baik kedepannya saat kau terus dengan ego mu dan ayahmu dengan sifat keras kepalanya”.
“Kenapa ibu dahulu bersedia menikah dengan ayah?”. Tak ada jawaban serta kata-kata penerang terucap dari mulut Laras. Mereka kemudian berlalu menuju rumah. Suatu keputusan yang tersulit dan membuatnya bagai cacing dalam terik siang, tersiksa, itu lah yang marwan akan rasakan. Rasa kesal terasa menjemput paksa dirinya.
Dengan gelisah bercampur kesal marwan melangkah menuju kamar, berganti pakaian dan celana. Tanpa melirik ruang tamu dan di tengah langkah menuju kamar akhirnya ia melirik juga pada suatu sosok manusia berwatak keras. Selang beberapa waktu marwan sudah bersiap untuk melakukan perjalanan dengan ayahnya menuju kota. Dia pun berpamitan kepada ibunya, tak lupa mencium tangan dan memberi ucapan salam untuk segala keselamatan pergi dan pulang dari kota. Ayah marwan yang bernama Darso bin Waryo tak lupa melakukan hal sama dengan apa yang dilakukan marwan. Ibu marwan tak lupa tersenyum ketika ayah marwan akan menuju kota dengan sang putra semata wayangnya. Semoga lewat perjalanan nanti kalian bisa kembali rukun seperti sediakala. Kata Laras dalam hatinya, disertai lambaian tangan kepada mereka.
Mereka berdua menuju mobil kesayangan Darso itu. Mobil model bak terbuka nampak telah menunggu mereka berdua di depan teras rumah. Mobil ini diberi nama Marpele. Nama depan dari maestro dalam olahraga kulit bundar. Maradona dan Pele, Darso menyebutnya dengan mantap serta penuh antusias. MarPele dikatakan sudah tak muda lagi bila melihat tahun pembuatannya. Marpele hampir paripurna, ia berkata suatu ketika, sambil dia juga turut mengamini umur kehidupannya. Marpele pun turut andil mengantarkan anaknya mengenyam pendidikan dari sekolah dasar sampai akhirnya Marwan bisa lulus sekolah menengah. Marwan boleh dikatakan sebagai orang pertama di desa yang mampu lulus sekolah menengah. Tak kira bangga benar Darso dengan marpele. Bahkan tak banyak tetangga dan orang yang mengenal Darso menyebut dirinya lebih sayang kepada marpele ketimbang pada ibu dan marwan sendiri. Entah itu kabar burung atau itu hanya sekedar lelucon orang-orang saja. Namun seperti sebuah dinasti pada umunya, marpele mempunyai sebuah masa kejayaan dan sekarang setelah marwan sudah meyelesaikan pendidikannya, marpele pun seperti memberi sinyal pada Darso bahwa marpele sudah tidak muda dan tidak setangguh seperti dulu, saat warna dan mesinnya masih baru. Masa kejayaaan marpele akan usai seiring umur dan kerusakan yang menggerogoti mobil itu. Kata Darso suatu ketika ataupun kata kebanyakan orang dan marwan pun demikian mengamini hal itu. Marpele mobil tua, mogokan.
Darso pernah menceritakan kepada marwan tentang marpele secara lengkap saat ia mengingat kembali. Tak hanya satu atau dua kali saja marwan mendengar Darso bercerita tentang marpele. Dengan antusias layaknya pendogeng yang baik ia terus menuturkan asal-usul marpele. Sampai paham titik, koma dan jeda cerita itu. Kata Marwan dalam hatinya. Marwan juga sudah hafal di luar kepala, sampai dengan dia sudah tahu berapa kali mobil ini ganti ban, turun mesin, berapa uang Darso membelinya, untuk apa Darso membelinya, serta tak ketinggalan letak bengkel langganan mobil itu. Dan Marwan beranggapan dan membenarkan perkataan orang tentang marpele. Memang benar cinta Darso kepada marpele itu melebihi cintanya pada dia dan ibunya. Marpele sialan, namun di lain pihak mobil itu memang punya andil besar bagi kehidupan keluarganya. Mobil atau apapun di dunia ini hanya perantara untuk memperoleh rezeki, namun semua itu karena usaha dan pertolongan dari Tuhan. Marwan menirukan perkataan Kyai Dulah pada suatu ketika di surau.
Ingatan marwan pada marpele seketika buyar saat Darso bertanya pada dirinya,
“Wan, ayah harap dirimu tidak marah atas kejadian tempo hari, aku tak bermaksud menentang kehendakmu atau apapun sebutan lainnya. Kau boleh menjadi apa saja dan bebas memilih apapun dalam hidup mu, namun Ayah sama sekali tak setuju dengan pilihan mu itu”
“Sudah cukup yah, aku tak mau berdebat mengenai hal itu lagi, buang-buang energi dan waktu kita saja” potong marwan dengan nada pelan dan hati-hati
“Tapi kau harus memilih dan memutuskan dengan pilihan mu itu, mana mungkin ada orang tua yang tak mendukung keputusan anaknya, bila itu terbaik untuk anaknya, Ayah dan Ibu pasti mendukungnya tapi bukan untuk menjadi seorang..”
“Ayah yang tak mendukung, bukan ibu” sergah Marwan membela ibunya dengan mata nya melihat ke depan dan kedua tangannya di lipat depan dadanya.
“Kita sudah kan saja perbedatan ini, memang tak baik memaksakan kehendak masing-masing, tapi ayah berpesan masih banyak pekerjaan lainnya wan. Ayah masih mempunyai sawah untuk di olah walaupun itu warisan almarhum kakek mu, kau bisa berdagang seperti ayah ataupun menjadi pegawai kelurahan ataupun karyawan kantoran di kota sana”
“Iya sudah dicukupkan saja perdebatan ini, aku tetap pada pendirianku yah, mungkin juga ini akan menjadi takdirku di kemudian hari nanti”. Tutup marwan dengan memandang ke arah ayahnya.
“Ya sudah kalau kau tetap dengan pendirianmu, kau memang selalu keras kepala seperti kakek mu” Tutup Darso dengan menarik nafas dalam-dalam dan dengan memandang ke arah marwan.
Perjalanan menuju kota sudah berlangsung hampir 2 jam lamanya. Jarak dari desa pinggir menuju kota memang sedikit jauh, membutuhkan waktu 4 jam bila marpele tidak mogok dan tentunya bisa di ajak berkompromi. Tapi kenyataannya marpele bukan lah manusia yang mampu diajak kompromi. Itu berarti baru setengah perjalanan agar mereka sampai ke kota. Suasana di sepanjang jalan memang memanjakan mata bagi siapapun yang melihatnya, namun tidak untuk Marwan. Bukan karena pemandangan membosankan dirinya, namun memang suasana hatinya sedang tak mendukung dan menyambut baik padanya. Itulah percakapan terakhir antara mereka setelah beberapa saat tadi. Kebisuan serta rikuh menjadi teman akrab perjalanan mereka. Marwan bersandar pada pintu mobil sambil ia melihat keluar pemandangan yang dilaluinya. Tangan kirinya menopang dagu dan beberapa saat kemudian kedua matanya sudah terpejam diterpa semilir angin awal minggu pagi. Seolah semilir angin mempersilahkan dirinya untuk terlelap. Sesaat mata marwan terpejam, dia di kagetkan ketika marpele yang dikemudikan Darso tanpa sengaja melibas sebuah lubang menganga di jalan. Marwan bangun dengan muka merah padam, seakan menyumpah serapahi lubang sialan itu. Atau lebih tepatnya marah pada Darso yang kurang sigap dalam mengemudi. Agar tak memparah keadaan, Darso yang melihat anaknya itu bagai marah kepada dirinya dan dengan cepat mengucapkan kata maaf kepada Marwan dengan senyumannya. Marwan hanya mengangguk saja tanpa membalas senyuman Darso. Dengan posisi berbeda, kali ini marwan melanjutkan kembali tidurnya yang sempat terganggu oleh sebuah lubang sialan tadi. Kedua matanya mulai terpejam kembali, dengan tangan dilipat di depan dadanya. Itu lah salah satu posisi yang ia sukai, saat kantuk menyerangnya tanpa ampun.
Dalam suasana rikuh dan kikuk, Darso berusaha mencairkan suasana dengan menyetel kaset tape lagu lawas. Pada badan kaset itu bertuliskan The Great Song Of The Beatles Vol 3. Itu lagu populer masa muda Darso, atau barangkali ia baru tahu lagu itu belakangan ini. Sebuah tebang kesuakaannya menjadi pengawal dalam suasana penuh kerikuhan dan kikuk. Marwan tak bergeming dari tidurnya dan Darso pun seakan terhanyut lebih dalam oleh salah satu lagu kesukaannya. Sesaat kemudian dia menyambar bungkus rokok dan korek gas yang terselip di bawah tape mobilnya. Dengan cekatan sembari menyetir dan berharap tak ada lubang lagi terlindas oleh mobilnya. Kaca mobil ia naikan ke atas ketika akan menyulut korek. Tujuannya adalah agar angin tak mematikan korek apinya. Bunyi crek crek terdengar nyaring dalam mobil. Setelah ujung rokok menyala sempurna, ia kembali menurunkan kaca mobil. Akhirnya, terlihat lah senyum kepuasaan dari bibir Darso. Mungkin salah satu kepuasan bagi dirinya saat menyetir mobil adalah ketika bisa menghisap rokok sambil mendengarkan musik lawas kesukaannya. Mengingatkan dirinya saat masih muda dahulu. Aku sangat menikmati perjalanan ini. Dalam hati dia berkata demikian. Namun itu hanya sebuah pembenaran saja atas jawaban atas keadaan yang saat ini ia rasakan. Darso sadar dirinya dalam situasi tak mengenakan.
Hampir dua jam telah berlalu ketika mata marwan di paksa terpejam oleh keadaan. Akhirnya dia terjaga dan hampir tak percaya dengan keadaan kota. Semua kenangan dengan kota ini seakan melayang dalam ingatannya. Namun layaknya seperti cerita dari dunia, ada orang datang juga tak banyak yang pergi. Dia melihat banyak perubahan yang terjadi pada kota ini. Dahulu, bahu jalan tak sepadat seperti saat sekarang. Pejalan kaki seakan berdesakan dan bertabrakan karena ruang mereka berjalan seakan sudah semakin sempit. Darso melihat Marwan sudah bangun dan tengah mengamati keadaan kota dengan penuh antusias. “Ini lah hidup wan, selalu ada perubahan dalam setiap aspek apapun” Terang Darso kepada marwan. “Semoga penghuni kota ini juga tak berubah oleh semua pembangunan dan perubahan” Jawab Marwan tanpa melihat ke arah Darso. “Nanti kita membuktikan apa ucapan mu wan”. Tutup Darso tanpa melihat wajah Marwan karena berkonsentrasi menyetir dalam keramaian kota.
Marwan terus mengamati kiri-kanan jalan kota dan akhirnya ia melihat toko buku bekas. Toko buku bekas adalah langganan almarhum kakeknya dan tentunya ia juga. Sepertinya dia tak melihat Mbah Karjo. Lelaki tua dengan umur sekitar 70 tahun atau bahkan lebih, namun pastinya umur Mbah Karjo dan kakeknya tak beda jauh, mungkin selisih dua hari, ucap kakeknya suatu ketika ditanya Marwan mengenai umurnya. Mbah Karjo adalah pemilik toko buku bekas yang sering ia lihat dengan selembar buku atau koran di depan tokonya, saat dahulu Marwan dan kakeknya berkunjung. Kakek marwan dan Karjo bagai teman karib. Setiap satu bulan sekali kakek marwan berkunjung membeli atau sekedar menghabiskan waktu untuk berbincang dengan Karjo. Mungkin karena kecintaan mereka pada buku membuat mereka di pertemukan dalam sebuah pertemanan sejati. Bahkan suatu saat kakek Marwan pernah berkata padanya, “Pedagang di kota sampai hafal dengan diri ku wan, kakek seperti kakak beradik dengan Karjo, gurau mereka pada suatu kesempatan”. Marwan mengingat perkataan kakeknya itu dengan senyum mengembang dan nelangsa. Setelah beberapa saat marpele berjalan tak sampai 50 meter dari toko buku bekas, Darso membelokan mobil untuk parkir. “Kalau kau mau pergi ke toko buku bekas langganan kakeh aku persilahkan wan, bukan kah kau juga rindu dengan suasana ketika kau dan kakek sering berkunjung kesini” Terang Darso kepada Marwan. “iya yah, aku akan kesana, mungkin ada hal baru di sana” Tutup Marwan kepada Darso. “Jangan terlalu lama wan, setelah ayah selesai membeli barang belanjaan kita akan segera pulang” Kata Darso, “Oke yah” Jawab Marwan sembari jempol tangan kanannya di angkat ke atas dengan harapan Darso melihatnya. Marwan seakan berlalu di telan gelombang manusia. Dia berlalu dan Darso pergi menuju toko sembako Sabar.
Beberapa saat berjalan, akhirnya ia sampai didepan toko buku bekas, Marwan selalu membayangkan kiranya masih adakah buku bekas bagus yang ada dalam daftar koleksi pribadinya. Dan yang terpenting dari pada itu adalah bisa bertemu dengan Mbah Karjo. Bagi Marwan sebuah buku bukan hanya sebuah bacaan saja, ada hal lebih dari sekedar halaman penuh tulisan dari proses kreatif para pengarang, baik dari republik ini maupun dari dunia luar sana. Dengan penuh rasa kagum dia melihat jajaran buku penuh mengisi rak walaupun tak baru dan sudah ‘bekas' adalah kata terakhir menyertai deretan buku itu. Suatu sapaan dari penjual toko buku mengalihkan pandangan marwan untuk segera berbalik melihat sumber suara.
“Selamat siang, ada yang bisa di bantu?” Sapa hangat penjual buku dari samping marwan. Tak bisa di pungkiri lagi, Marwan telah terhanyut pada suasana ketika dia dan kakeknya terakhir kali mengunjungi tempat ini.
“Selamat siang”, dia melihat penjual toko buku dengan heran serta kagum disertai sebuah pertanyaan. “Saya mencari buku lama, kiranya masih ada pilihan untuk saya beli?” Jawab Marwan kepada penjual toko buku. Dengan nada pelan penjual itu menunjukan buku lama kepada Marwan, ternyata ada di sebelah kanan dirinya. Dalam deretan rak buku dia dapat meniliti dengan seksama buku lama untuk dia beli dan baca ketika saat tiba di rumah nanti.
“Berapa harga untuk dua buku ini? tanya Marwan pada penjual toko dengan yakin. “Hmm, itu sebenarnya koleksi peninggalan dari kakek saya”. Marwan bisa merasakan nada bicara penjual buku bekas itu serasa cemas , serta tak selepas tadi namun tetap pelan dan sopan.
“Maaf, maaf sebelumnya. Apakah kamu anak atau cucu kakek pemilik toko buku bekas ini?” tanya Marwan memastikan keraguan dalam dirinya.
“Iya mas, benar saya adalah cucu dari kakek saya. Mbah Karjo. Kenapa kau tahu nama kakek saya?”. Tanya penjual toko buku bekas itu pada Marwan.
“Oh ternyata kau cucu Kakek Karjo, maaf sebelumnya aku tak mengetahui hal ini, aku baru saja berkunjung setelah beberapa waktu lamanya. Aku bersama kakek ku hampir setiap bulan berkunjung kemari. Aku mencari buku dan Kakek ku dengan Tuan Karjo biasa berbincang sampai waktu lama, entah apa yang mereka bahas, namun aku mendengar mereka berbincang tentang buku, pengarang, keadaan republik ini sampai kenangan masa muda mereka. Itulah setiap kali aku dengar saat mereka bertemu dan tentunya saat kakek ku masih hidup”. Nada suara Marwan terlihat pelan saat dirinya berkata bahwa kakeknya sudah meninggal.
“Apakah nama kakekmu bernama Waryo? dari desa pinggir sana?”
“Ya benar sekali, bagaimana kau bisa mengetahui itu?
“Kakek ku sering bercerita tentang kakek dan dirimu, kau pasti Marwan kan, cucunya Mbah Waryo?
“Iya benar sekali, hmm, kalau tidak salah dan aku pernah mendengar dari percakapan kakek mu dengan kakek ku apakah kau bernama Ratih?.”
“Iya benar wan, aku Ratih cucu dari kakek Karjo”. Dengan senyuman gadis cantik itu memberi jawaban kepada Marwan dan mengulurkan tangan lembut itu sebagai tanda awal pertemanan mereka berdua dan tentunya untuk cerita-cerita lain di kemudian waktu.
“Sebenarnya daritadi aku mencari Kakek mu, Dimana kakek mu itu?”
“Kakek Karjo baru meninggal 1 minggu lalu” Tutup ratih dengan suara lirih.
“Ya Tuhan, aku baru mendengar kabar itu sekarang, maafkan aku karena tidak mengetahui kabar tentang Kakek Karjo, aku turut prihatin atas kabar menyedihkan ini. Dan pastinya kau pun sangat kehilangan sosok kakekmu itu.” Ucap Marwan pada Ratih dengan nada pelan dan dalam.
“Kakek ku memang seorang lelaki luar biasa, beliau bukan hanya sebagai contok untuk ayah dan cucunya tapi juga pribadi baik bagi semua orang. Tapi memang itu lah hidup, terkadang orang baik cepat pergi ketimbang orang jahat yang selalu ada di setiap tempat.”
“Orang baik selalu mempunyai tempat di hati orang lain, kepergian kakek mu pasti kehilangan bagi orang lain juga.”
“Begitu juga dengan Kakek mu wan, pasti juga banyak orang kehilangan sosok dirinya, jadi mungkin kita berdua sama-sama kehilangan orang baik yang telah meninggalkan kita. Ingatan tentang mereka tetap akan ada dalam benak kita dan orang lain.”
“Ya, memang begitu adanya. Sekarang mungkin mereka berdua sedang bernostalgia bersama. Saling melempar senyum sembari berucap, cucu kita akhirnya bisa bertemu”. Kata Marwan sembari tertawa dan kemudian di susul oleh Ratih.
“Iya sepertinya benar ucapanmu itu wan, waktu memang selalu mempertemukan dengan hal yang tak terduga. Waktu memang misteri bagi kehidupan.”
“Aku tahu kutipan itu, dari buku pengarang besar republik ini. Aku pernah membaca kutipan itu dari buku perpustakaan kakek ku.”
“Iya benar, itu memang kata kutipan dari pengarang besar republik ini, dia seakan di tepikan bahkan di musuhi dari republik ini namun begitu di elukan namanya oleh dunia luar.”
“Itu lah Republik ini, pengarang sebesar dia akan selalu di buat tak baik namanya oleh para penguasa. Berbeda dengan pengarang pro pemerintah yang di elukan dan di gaungkan namanya bagai seorang pahlawan dengan banyak bintang medali penghormatan.”
“Kalau berbicara tentang pengarang besar itu dan Republik ini seperti perbincangan kakek mu dan kakek ku saja wan, tak pernah ada kata ujung dan selesainya.” Jelas Ratih dengan senyuman merona yang membuat dada marwan seakan sesak dan tungkainya lemas. Marwan seakan terbius dalam pandangan matanya melihat sosok cucu Mbah Karjo pemilik toko buku bekas. Mata jernih bulat bagai buah almon, bibir tipis merah tampak alami dihiasi senyum mengembang. Dan rambut terkuncung seakan serasi dengan wajah ayu ratih sendiri. “Kau memang cantik, saat kecil kau sudah cantik dan sekarang bertambah cantik” ucap Marwan dalam hatinya.
Marwan seakan tercengang memandangi Ratih, dirinya semakin terhanyut dalam rasa damai. Tiba-tiba ia di kagetkan oleh suara Ratih, “Hei Wan, ada apa? Jangan melamun wan”. Dengan Ratih menggerakan tangannya di depan wajah Marwan “Iya, iya, aku tak melamun. Aku hanya memandang mu saja”. Jawab Marwan tanpa sadar membuat dirinya malu kepada Ratih. “Hmm, bicara apa kamu Wan”. Sambil nampak merah padam muka Ratih mendengar ucapan Marwan. Memang tak bisa dipungkiri waktu seakan berhenti dan darah seakan mengalir lebih deras. Jantung terasa lebih kencang dalam berdetak tak seperti biasanya. Itulah yang Marwan rasakan, entah dengan Ratih.
“Bukan apa-apa, oh iya bagaimana jadinya nasib dua buku lama ini, di lain pihak aku menginginkannya, namun di sisi lain buku ini adalah koleksi almarhum kakek Karjo. Jujur saja aku dirundung perasaan tidak enak”. Tanya Marwan dengan agak ragu serta malu.
“Jadi begini Wan, sebenarnya almarhum kakek ku pernah berpesan padaku, bahwa buku lawas koleksinya ini bisa di turunkan kepada siapa saja dan dengan persetujuanku sebagai penerus toko buku ini.” Itu lah jawaban Ratih mengenai dua buku lawas ini, yang membuat diri Marwan begitu ingin mendengar kelanjutan dari perkataan Ratih.
“Jadi bagaimana keputusannya?”. Sahut Marwan dengan penuh harap. “Hmm, bagaimana yah. Aku akan sedikit bercerita tentang dua buku lawas ini kepadamu, sebenarnya kakek ingin memberikan koleksi pribadi ini kepada kakek mu dahulu, namun dikarenakan kakek mu meninggal dunia beberapa bulan lalu, dan kakek ku juga terbaring sakit keras, akhirnya ia menyampaikan wasiatnya kepada diriku. Bila kakek Waryo sudah meninggal kelak koleksi pribadi mili kakek ku akan di serahkan kepada cucunya saja. Tak lain tak bukan adalah untuk dirimu Wan. Dan aku memang baru satu hari mulai membuka kembali toko ini. Dan merapikan sebagaian koleksi buku milik kakek ku ketika kau datang. Dalam wasiatnya kakek ku masih meninggalkan dua buah buku di tokonya. Nah, ketika tadi kau menawar dan hendak membelinya, aku pun memberi tahu dirimu, bahwa buku itu adalah koleksi pribadi kakek ku. Sebenarnya aku merasa heran pemuda seusia mu suka dan berminat dengan buku-buku lawas itu. Aku sempat menebak siapa ini dirimu, dan ketika aku memberi tahu dirimu, akhirnya aku tau sekarang kau memang cucu dari Mbah Waryo. Seperti apa yang ku tebak. Lalu seketika itu aku tak bisa berkata tidak untuk melepas dua buku ini padamu Wan”. Itulah jawaban dari Ratih mengenai kejelasan ke dua buku itu serta sebuah wasiat dari kakeknya.
“Terima kasih atas semua penjelasannmu tentang wasiat kakek mu. Ada berapa total semua buku koleksi kakek mu itu.”
”Ada sekitar 800an buku yang kakek ku ingat, belum lagi lainnya yang terselip serta tercecer untuk aku rapikan kembali”. Ucap Ratih.
“Aku tak berharap memiliki semuanya, karena biar bagaimana pun aku bukan lah kakek ku dan walaupun aku mempunyai hak untuk memilikinya. Seperti pesannya kepadamu, namun aku urungkan niat untuk menerima.”
“Kenapa kau mengurungkan niatmu untuk menerima dua buku ini?.”
“Aku ingin dan sangat antusias memilikinya, tapi aku harus bertanya terlebih dahulu padamu.”
“Apa yang hendak kau tanyakan padaku.”
“Apakah kau juga suka membaca buku lawas ini? dan apakah cita-citamu tak berubah saat kau kecil yaitu untuk menjadi seorang penulis?.”
“Aku suka membaca pengarang klasik tanpa terkecuali. Dan mengenai cita-cita ku waktu saat kecil memang aku belum memutuskan itu. Dan sekarang di hadapan ku ada jalan dimana aku harus menggantikan tugas dari kakek ku. Di lain pihak aku juga menggemari dunia tulis menulis namun juga aku sadar, bahwa tulisan ku tak sebagus atau lebih baik dari seorang perempuan yang sedang belajar menulis saat malam. Bagai menulis namun tak mempunyai mata untuk melihatnya”. Mendengar jawaban itu membuat Marwan bertambah gembira serta kagum pada Ratih. Bagai sebuah hamparan sabana kala di penghujung musim hujan yang di rasakan Marwan saat dirinya penuh makna memandang gadis bermata almon itu. “Baiklah, ku rasa buku itu untuk mu saja. Simpan baik-baik dan anggaplah sebagai peninggalan terakhir dari kakek mu”. “Tapi wan, aku..” “Sudah tak usah banyak cakap, kalau aku tak bisa memiliki dua buku itu, tentunya aku bisa meminjamnya dari mu bukan? hanya 1 bulan saja, setelah aku selesai aku kembalikan.” Mendengar ucapan Marwan hati Ratih terasa bergetar. Dan tanpa berpikir panjang ia pun mengiyakan agar dua buku lama itu di pinjam kan pada Marwan. Senyum kemenangan terlihat dari bibir Marwan.
Dan seperti umumnya lelaki di penjuru dunia manapun, Marwan meminta nomor telepon gadis bermata almon itu. Ia menyodorkan salah satu lembar buku lama yang dipinjam dari Ratih serta berkata “Aku harap kau mau menulis nomer telepon mu di lembar kosong buku ini” senyum kecil telah menyelimuti wajah Marwan. Dengan sedikit kaget Ratih pun mengambil bolpoin di meja toko buku kemudian menuliskan nomor dengan senyuman mengembang juga sama seperti Marwan. Setelah memberi nomer telepon kepada Marwan Ratih pun menanyakan dengan siapa ia pergi menuju kota, karena biasanya dulu ia pergi dengan kakeknya. Marwan terlihat kaget dan melihat jam dinding toko buku, ia sadar dirinya pasti tengah ditunggu Ayahnya, kemudian ia segera berpamitan dengan Ratih. Mereka bersalaman. Marwan tersenyum, Ratih pun tersenyum mereka sama-sama tersenyum. Entah ada apa dibalik senyuman mereka, dan selang beberapa waktu Marwan sudah berlalu dalam keramain pejalan kaki. Ratih pun melihat lelaki itu pergi dengan perasaan bercampur aduk. “Lelaki yang aneh”. Gumam Ratih.
Komentar
Posting Komentar