Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2017

Selembar Kertas

    Perkenalkan wahai sahabat, Namaku Karsito Wahyu Asep Waseso Tatang Supangat, seorang pria berhoroskop gemini. Lahir sebelum reformasi. Dari namaku tentu sudah bisa ditebak, aku berdarah jawa dan sunda. Jawa dari bapak dan sunda dari Ibu. Umurku 25 tahun, lebih 125 hari. Saat dulu anak ke tiga dua dari 3 bersaudara.  Aku bisa disebut anak ragil, anak bungsu, bontot atau apapun itu namanya. Aku mempunyai kakak perempuan bernama Wahyu Tini Eneng Ratna Wulandari Suratmi berumur 28 tahun. Sudah menikah mempunyai 1 anak bernama Tatan Wibowo Nanang Dayat Victor Hugo. Berbadan tambun, subur bagai anak kelebihan gizi. Menggemaskan bila dilihat,  namun terlihat lucu-lucunya dia.        Entah kenapa aku ini sering dijuluki si item, si keling, si hitam, si tak kasap mata, si sawo busuk dan banyak ‘si’ lain lagi. Tak mengenakan bila aku mendengar itu. Tentulah aku bercerita pada saat kecil. Sekarang sebutan ku banyak. Bisa sito, wahyu, sep, seso, tang...

Parman Bagian 1

     Muhammad Sobri dan Khotidjah adalah nama oran tua bagas. Dalam silsilahnya, buyut kelurga bapak dan ibunya adalah garda terdepan penyebar agama terkemuka di desa. Maka tak ayal bila dari kecil bagas sudah akrab dengan kehidupan pondok pesantren yang didirikan buyutnya. Dan diteruskan oleh keluarga bapak dan ibunya, hingga sampai sekarang. Bila ditelusuri dari cerita bapak kyai sobri, buyutnya belajar agama sampai ke hadramaut tepatnya kota Tarim jauhnya. Negeri subur di antara Yaman dan Oman. Tak terlalu jauh dari makam Nabi Hud atau dikenal dengan nama Syi’ib Hud sekitar 80 km dari kota Tarim. Dan kerap juga disebut ‘Kota Sejuta Wali’. Jarak bukan sebuah hambatan namun ke-istiqomahan dan panggilan Tuhan membuat buyutnya sangat gigih untuk mendampatkan serta mengamalkan ilmu agama. “Ilmu yang sudah kita dapatkan, harus diturunkan kepada siapapun sebagai amal kita kepada sesama”. Itu pesan buyut kita gas soal ilmu. Ketika bagas mengingat lagi  perkataan bapaknya...

Di Suatu Malam Itu

Pernakah kah kau kembali mengingat malam itu? dimana terukir dalam ingatan dan benakmu? Kalau tidak biarlah aku saja yang mengingat itu. Saat pertemuan dua hati ketika aku sulit berfikir logis serta mulutku bagai gagap berbicara. Seakan Terkunci rapat. Untuk mengucap serta memuji sosok perempuan polos, lugu dan indah. Apakah kau tahu sosok perempuan itu? Ya itu adalah dirimu.   Saat malam itu dimana kita bertemu saling melempar canda tawa tanpa sekat serta bilik pemisah untuk berkomunikasi antara dua hati. Sulit digambarkan secara tepat dan cepat. Bianglala malam membuat kita hanyut dalam hangat dan akrab. Kita sama tahu bahwa  hawa dingin menyelimuti tempat itu. Banyak orang disekeliling keakraban kita. Melihat kita penuh heran,curiga serta tanya.  Disela perbincangan. Aku dibuat kembali terhanyut dalam semesta mu, namun yang terindah adalah wajahmu. Hadir dalam nyata. Penuh makna dalam damba. Semua nyata tak kuasa ku tahan. Banyak rindu yang tak terlukiskan memenuh...

Kembali Mengingat bagian 1

      Semuanya hanya lah sebuah titipan bila bagas memahami semua yang menimpanya pada masa silam dan waktu sekarang. Ucapan dari ayah bagas sangat membekas dalam palung jiwanya. Seorang bapak dengan jiwa besar telah memberinya pelajaran tentang hidup. Mengajari tak ada ketentuan di bumi ini yang tak ada garis titahnya. Baik soal rezeki, jodoh maupun maut. Ketiganya menjadi rahasia semesta hidup. “Gas? untuk menjadi manusia itu sangat sulit, ayah saja belum paripurna menjadi seorang manusia. Mendekati saja belum bisa gas. Masih membutuhkan waktu lama, harus tahan akan semua cibiran atau nyinyiran orang. Berbuat darma kepada siapa pun pasti akan banyak penghalang di hadapan kita. Namun percaya lah setiap perbuatan buruk kepada siapa pun pasti akan menjadi sebuah malapetaka di kemudian hari.” Itu pesan dari sekian banyak wejengan ayah bagas kepada dirinya. Menjadi seorang anak yang dipandang oleh berbagai tingkatan strata masyarakat adalah sebuah kehormatan namun juga seka...