Langsung ke konten utama

Selembar Kertas

    Perkenalkan wahai sahabat, Namaku Karsito Wahyu Asep Waseso Tatang Supangat, seorang pria berhoroskop gemini. Lahir sebelum reformasi. Dari namaku tentu sudah bisa ditebak, aku berdarah jawa dan sunda. Jawa dari bapak dan sunda dari Ibu. Umurku 25 tahun, lebih 125 hari. Saat dulu anak ke tiga dua dari 3 bersaudara.  Aku bisa disebut anak ragil, anak bungsu, bontot atau apapun itu namanya. Aku mempunyai kakak perempuan bernama Wahyu Tini Eneng Ratna Wulandari Suratmi berumur 28 tahun. Sudah menikah mempunyai 1 anak bernama Tatan Wibowo Nanang Dayat Victor Hugo. Berbadan tambun, subur bagai anak kelebihan gizi. Menggemaskan bila dilihat,  namun terlihat lucu-lucunya dia. 

      Entah kenapa aku ini sering dijuluki si item, si keling, si hitam, si tak kasap mata, si sawo busuk dan banyak ‘si’ lain lagi. Tak mengenakan bila aku mendengar itu. Tentulah aku bercerita pada saat kecil. Sekarang sebutan ku banyak. Bisa sito, wahyu, sep, seso, tang, ngat atau lainnya. Terserah kalian memanggil ku apa. Asal jangan panggilan masa kecilku. Nanti aku jadi naik pitam. Tenang aku hanya bercanda.

     Aku bersyukur bisa menamatkan pendidikan Strata Satu, Fakultas Pertanian, Universitas Kota sejuta kenangan. Jangan bertanya negeri atau swasta. Terpenting aku lulus. Walau dengan susah payah, jungkir balik, koprol, squad jump dan salto. Akhirnya, aku diwisuda. Jangankan mendapat IPK bagus, lulus saja orang tua ku sudah bersujud syukur didepan para hadirin wisuda. Seperti agak berlebihan bukan? bukan kah sekali lagi hidup perlu di lebih-lebihkan agar menarik bukan?
   
    Orang bilang aku sudah bertitel Magister. Atau setidaknya hampir menyusun disertasi S3 di Universitas, Negeri Ratu Ali Baba. Aku hanya menghela nafas. Itu selentingan tetangga dan saudara ku. Sebab, aku tak kunjung wisuda. Tentu orang tua ku sudah terbiasa akan hal itu. Terima kasih ayah ibu sudah menjadi pendengar yang baik. Itulah hidup; terkadang orang lain sibuk dengan dunia kita. Namun tak apalah. Aku jadikan motivasi kala itu. Aku senang karena tentangga dan saudaraku terlampau perhatian padaku. Aku saja tidak peka atas perhatian mereka. Orang tua dan kakak ku perhatian dalam bentuk materi. Tetangga dan saudara ku perhatian dalam bentuk sindiran, adil bukan itu? Ya, jawabku.

      Sekarang mau tak mau aku bekerja serabutan. Tak tetap, tak terlalu terikat namun tetap tahu diri. Menjadi makelar tanah, rumah, motor, mobil, berjualan ikan atau menjadi sopir tembak. Aku lakukan. Apapun itu asal dompet terisi rupiah dan tentunya halal. Ijazah strata satu ku abaikan namun ilmu dan pengalamannya aku lakukan. “Pengalaman hidup adalah terpenting". Kata ku mantap dalam hati.
   
    Kurang lebih 1 tahun telah berlalu setelah peristiwa tali toga sewaanku di geser oleh bapak rektor yang terhormat. Hanya digeser? Ya benar, untuk digeser aku harus menanti bertahun lamanya. Dari mahasiswa baru. Polos, namun sangat udik. Disambut dengan ospek, kemudian PKL (bukan pedagang kakai lima) dan tentunya ditutup tugas akhir. Sebuah penelitian dengan tulisan ilmiah-ku. Skripsi. 

   Aku deklarasikan diriku sebagai Laskar Pengangguran Mania. Berbicara keanggotaan tentunya jangan ditanya banyaknya laskar ini. Seperti jamur di musim penghujaan. Banyak, berlipat dan beranak pinak. Pastinya aku berdiri sendiri (berdikari), independen (Do It Your Self). Jelas, tersruktur dan bias dalam kemajuan untuk mendapat pekerjaan karena persaingan. Dan kenapa nama belakang laskar ini berakhiran Mania? tentunya terilhami dari pecinta sepakbola negeri ini. Militan, nekat, solid dan kompak. Hanya satu yang mereka belum rasakan. Juara. 

     Nah, untuk menambah rupiah. Aku mencoba menulis dan tak henti mengirim karyaku pada koran-koran. Tentu sangat senang bila karyaku bisa diterbitkan. Namun sayangnya itu hanya impian. Dihubungi redaksi saja pun tidak, apalagi untuk memajang karyaku. Kerap kali aku mengeluh pada kenyataan akan hidup ini. Mau bagaimana lagi, sekolah telah mencetak angkatan penerus pengangguran setiap tahun. Dari kecil kita berjuang demi selembar kertas. Bernama ‘Ijazah’. Tak bisa di cairkan untuk pinjaman, tak bisa menjadi uang pada rumah gadai atau bank. Dan untuk mendapatkannya pun dengan uang pula. Sembari juga dengan waktu dan tenaga. Negeri selembar “Ijazah”. Pada kesempatan nanti aku ceritakan mengapa aku begitu lama mendapatkan  selembar kertas ‘Ijazah’.

     Tak hentinya ke dua orang tua dan kakak ku menyarankan ku wirausaha. Namun segera ku tampik. Siapa orang tak mau akan wirausaha? Menjadi bos tanpa ada tekanan, tuntutan atau targetan. Rugi di tanggung sendiri dan untung di pikir sendiri. Namun ternyata tak semudah dibayangkan. Aku masih saja takut gagal, takut bangkrut, takut kena utang, takut takabur, takut sombong, dan takut ini itu dan lainya. Mungkin jawaban tepatnya aku belum punya modal. Modal memulai itu semua. Tapi tekad dan keinginan sudah bulat. Bulat untuk tak memulainya. Perlu waktu.


17 November 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagas yang sedang kasmaran.

 Di suatu siang terik saat jam menunjukan angka 13.00. Bagas berjalan menerjang panasnya matahari yang membuat ubun-ubunnya terus berdenyut. Langkahnya seakan lebar untuk bisa sampai tepat waktu karena pada jam 13.50 dia ada sebuah kelas. Memang jarak tempat dia kost dan kampusnya tidak jauh. Namun yang dikhawatirkan oleh dia bukan panas atau pun lainnya, melainkan ada tugas perdana dari dosen yang belum sempat dia kerjakan. Tugasnya tak susah, hanya meringkas sebuah jurnal yang ditulis tangan 1 lembar kertas A4. Bisa jurnal nasional ataupun luar negeri. Namun pesan dosen akan lebih kalau dari luar negeri. Dalam pemilihan judul pun dibebaskan oleh dosen asal jangan melenceng dari disiplin ilmu yang dia pelajari. Dengan nafas terengah dan tubuh seakan bermandikan keringat dia sudah sampai di depan kelas. Masih ada waktu 35 menit baginya untuk mengerjakan pekerjaan kuliahnya.              Dengan cekatan dia mengelurkan selembar kertas A4 ya...

Michella Austin Farero

Pada satu sudut pertemuan tiga jalan di pusat kota, sepuluh blok setelah Au Manoir Saint-Germain des Prés Hotel, lima blok dari rumah sewa tempat ku tinggal yang jarang terjamah atau suatu ketika pernah ramai pada saat kejadian yang membuatku agak takut untuk mengingatnya kembali. Aku memilih rumah sewa ini, tentunya selain karena harga yang bersahabat bagi kantong salah satu penduduk Negara Republik Asia Tenggara. Fungsi lain rumah sewa ku tentunya adalah sebagai benteng penghangat dari suhu rendah di musim dingin serta cukup kuat untuk menghalau amukan badai pada suatu ketika aku mengalaminya. Dan tentunya itu salah satu dari beberapa pengalaman buruk yang pernah ku jumpai saat pertama kali aku minginjakan kaki di negara ini.  Tentunya aku dituntut bekerja lebih giat, untuk memenuhi semua kebutuhan, namun itu lah keputusan yang harus diambil setiap hari kecuali pada hari minggu saat mental dan badanku butuh rehat sejenak. Dan sisi baiknya selain itu, tentunya semua je...