Langsung ke konten utama

Michella Austin Farero

Pada satu sudut pertemuan tiga jalan di pusat kota, sepuluh blok setelah Au Manoir Saint-Germain des Prés Hotel, lima blok dari rumah sewa tempat ku tinggal yang jarang terjamah atau suatu ketika pernah ramai pada saat kejadian yang membuatku agak takut untuk mengingatnya kembali. Aku memilih rumah sewa ini, tentunya selain karena harga yang bersahabat bagi kantong salah satu penduduk Negara Republik Asia Tenggara. Fungsi lain rumah sewa ku tentunya adalah sebagai benteng penghangat dari suhu rendah di musim dingin serta cukup kuat untuk menghalau amukan badai pada suatu ketika aku mengalaminya. Dan tentunya itu salah satu dari beberapa pengalaman buruk yang pernah ku jumpai saat pertama kali aku minginjakan kaki di negara ini. 

Tentunya aku dituntut bekerja lebih giat, untuk memenuhi semua kebutuhan, namun itu lah keputusan yang harus diambil setiap hari kecuali pada hari minggu saat mental dan badanku butuh rehat sejenak. Dan sisi baiknya selain itu, tentunya semua jeri payah ini bisa ku simpan sebagai tabungan di kemudian hari; untuk pulang menuju tanah kelahiranku beberapa tahun kemudian. Setelah aku menyelesaikan sekolah pada jurusan sastra, kemudian aku bekerja sebagai penerjemah bahasa untuk, di salah satu perusahaan koran yang lumayan besar dan mempunyai rekam jejak sejarah cukup panjang bagi perkembangan dunia jurnalis negara ini. Suatu ketika temanku bilang “kau beruntung bisa bekerja di perusahaan itu" dan di lain kesempatan lainnya temanku juga berkata bahwa “kau harus bersiap lebih cepat tua dari teman sebayamu karena bekerja di situ.” Entah yang benar yang mana, tapi bagiku semuanya memang benar dan tak ada kalimat dari ku untuk menyangkalnya.

Mungkin rumah sewaan itu menjadi pertama dan terakhir untuk ku tempati. Dahulu aku seakan tersiksa oleh keadaan yang berubah secara drastis saat pertama kali pergi mencari peruntungan ke Negar ini. Semua hal begitu berbeda dari Negara tempat ku berasal. Mau tak mau aku harus menyesuaikan semua kebiasaan hidup, bahasa, makanan dan berbagai macam aturan lainnya di Negara ini, dengan harapan agar aku bisa mempunyai beberapa sahabat, serta bisa bertahan hidup setiap harinya. Itu salah satu hal yang menyebalkan, ketika awal aku menjadi ‘orang asing’ di Negara ini. Pada suatu ketika saat dunia sepertinya terasa sangat kejam dan membuatku murung pada malam-malam yang terasa panjang di dalam kamar. Disaat itu aku selalu pergi menghabiskan sisa malamku mengunjungi salah satu dari dua cafe yang bernama Les Deux Magots dan Cafe De Flore’. Dengan berselang-seling aku mengunjunginya kedua tempat itu dan lambat laun menjadi semacam melankolia pada dua tempat itu. 

Aku sudah hampir tujuh tahun menetap di Negara ini. Hal pertama ku ingat dari negara ini adalah pada cerita atau sejarah Revolusinya; terjadi pada tahun (1789-1794) serta salah satu bangunan yang dikenal dari 7 keajaiban dunia yang dikunjungi sebagian orang dari berbagai belahan dunia, walaupun hanya untuk sekedar berfoto bersama keluarga atau kerabat dan tentunya seiring perkembangan zaman tak sedikit pula yang berkunjung hanya untuk berbulan madu dan menikmati keindahan kota ini. Dan mungkin salah satu daya tarik kota ini tentunya cerita dari mulut kemulut dan aku pun pernah membacanya saat dahulu mungkin sampai sekarang banyak dari kalangan penulis hebat sering singgah ataupun berkunjung pada kedua cafe terpopuler di kota ini. Itu lah salah satu atau sedikit hal yang bisa ku ketahui dari sejarah kota dan negara ini, serta tentunya pengalaman ku saat bisa bertemu dengan  seorang Nona tanpa nama di dua cafe itu pada suatu kesempatan. 

Ternyata sebutan bagi kedua cafe itu tak sembarangan, aku seakan melihat serta merasakan tempat itu seakan mempunyai unsur magis, tak hanya bagi semua pengunjung namun juga bagiku sendiri. Namun aku baranggapan itu semua adalah suatu kebetulan bagi diriku saja atau memang suatu tempat bisa menjadi begitu hebatnya untuk setiap kenangan di waktu lainnya. Dan bila ada satu kejadian dimana itu membuatku sering murung dan saat malam keluar dari rumah sewaan adalah saat pikiran ini berlari kembali pada wanita itu. Bahkan tak mengenal waktu, saat musim dingin, semi, gugur, dan panas datang, aku seakan di buat tak berdaya dan akhirnya aku menyadari bahwa insomnia sudah datang menyiksaku beberapa tahun ini.

Aku mencoba mengingat kembali lewat semua yang bisa ku ingat meski tak seutuhnya bisa ku tulis, mengingat sudah beberapa tahun kejadian itu berlangsung. Tepatnya pada minggu pagi yang cerah setelah kota ini dilanda hujan sepanjang hari sabtu. Aku yang baru bangun dari tidur  awal minggu pagi seakan tak percaya bahwa hujan telah berhenti. Udara sejuk perlahan masuk melewati celah jendela yang baru ku ingat bahwa semalam tak ku tutup sepenuhnya. Dan akhirnya membuatku bisa bernafas dengan lega bahwa musim dingin belum menyambangi negara ini. Jika hari ini adalah musim dingin, mungkin aku bisa mati membeku di dalam kamar tanpa ada satu orang pun yang mengetahuinya. Setelah aku membersihkan diri dan bercukur di depan cermin sebagai kegiatan rutin disetiap dua minggu atau tiga minggu sekali. Biar bagaimanapun hari adalah hari libur dan tentunya jumlah wisatawan lokal maupun dari Negara seberang akan memenuhi ruas jalan kota ini.

Setelah aku melihat diriku dicermin dengan senyum penuh kepuasaan melihat wajah ini telah bersih tanpa kumis, salah satu rutinitas di minggu pagi adalah menggarang air untuk menyeduh segelas kopi espresso dengan sedikit gula dan roti yang ku beli hari jum’at malam setelah pergi mengunjungi teman ku. Satu hal yang kupelajari dari kota ini bagi pendatang baru adalah budaya disini memang begini adanya, tak ayal bagi para pelancong maupun wisatawan kesulitan ketika akan memesan sesuatu, baik makanan atau minuman dan tentun saja sering terjadi kesalah pahaman di setiap kesempatannya. Aku pun pernah mengalami hal tersebut, tepatnya saat aku memesan sebuah kopi tanpa menggunakan bahasa resmi negara ini. Dan yang ku dapatkan hanya sebuah gelas kopi kecil tanpa gula. Saat aku bersama teman dilain kesempatan, temanku  menerangkan bahwa segala sesuatunya disini memang seperti itu. Orang disini begitu menjunjung tinggi budaya, terutama bahasanya. Pelajaran bagiku adalah kita tak bisa mengelak dengan sesuatu yang baru, setiap orang harus mampu beradaptasi dengan segalanya tak terkecuali dengan kebiasaannya. 

Dengan segelas kopi espresso sedikit gula bersama satu potong roti Baguette dan lagu La Mer oleh Charles Trenet menemani minggu pagi ku. Aku melihat dari jendela orang sudah berlalu lalang dijalan. Ada yang bersama pasangannya, ayah serta ibu dengan anaknya di gandeng ditengah-tengah mereka atau sekedar melihat orang berjalan dengan jaket serta bertopi fedora dan wanita yang memakai baret topi menandai awal bergantinya musim lainnya telah datang menyambut. Pada jam 10 pagi teman-temanku berjanji bertemu di Restoran Au Pied de Cochon yang tak jauh dari koplek museum Louvre dan tempat itu sekarang menjadi paling populer bagi kaum kelas menengah atau penikmat kuliner untuk datang berkunjung, dan tentunya sekarang restoran sudanh mengantongi lisensi buka 24 jam setiap harinya kecuali saat hari libur Nasional. Aku berkunjung mungkin beberapa kali dalam hidup ku, dan kesempatan satu kali itu dikarenakan pertemuan itu bersifat wajib bagi ku dan bertujuan untuk mengakrabkan pertemanan di antara pegawai kantor koran ku bekerja. Aku bisa membayangkan betapa mahalnya semua makanan disana dan alasan terbaik bagiku untuk pergi menuju Restoran itu tak lain karena mungkin aku bisa mati jenuh saat terus berada di rumah sewaan pada hari libur. Aku kemudian memberaskan tempat tidur, mencuci gelas dan menyapu lantai seperti pada hari-hari libur sebelumnya. Setelah semuanya selesai aku bergegas mandi dan berdandan.

Aku sudah bersiap serta berdandan rapi seperti yang tak aku pernah duga sebelumnya. Aku bercermin dan berkata pada diriku sendiri “Mungkin hari ini aku akan menemui hal besar”. Pukul 9.30 aku pergi menuju Restoran, berjalanan kaki dengan riang, bersiul serta mendendangkan lagu yang sering ku putar yaitu Bujangan dari band sepanjang massa negeriku. Ketika aku melihat pejalan kaki bibirku tersenyum lebar, ketika aku melihat orang tua dengan tongkatnya, aku juga tersenyum. Bahkan ketika aku membaca berbagai tulisan toko yang berjajar pun, aku juga tersenyum. Semua aku lihat dengan bahagia bahkan ketika anak kecil menangis di seberang jalan, aku pun bahagia. Bahagia terkadang tak memandang tempat dan waktu. Tak terasa aku sudah sampai di depan Restoran memandang dari jalan di dalam teman-temanku sudah memenuhi bangku dan melambaikan tanganya padaku. Aku masuk Restoran kemudian pelayan berkata dengan ramah “Joyeux dimanche, monsieur” aku mengangguk serta tersenyum dan berkata “Merci, monsieur”. Mungkin memang karena pelayanan ramah yang ku dapat adalah harga lain dari sebuah makanan.

Aku menyapa teman kantor ku dengan senyuman serta berkata sama ramahnya seperti pelayan yang tadi menyapa ku di dekat meja kasir setelah memasuki Restoran. Temanku berkata  “Kenapa kau terlihat bahagia, Sobat” dan salah satu teman di seberang bangku berkata “Mungkin dia memenangkan sebuah lotre” yang disambut dengan gelak tawa temanku. Aku melihat pelayan itu juga tertawa, kasir pun juga tertawa dan gadis di seberang meja ku pun ikut tertawa bersama temannya. Aku pun bahagia dan ikut tertawa. Hari itu semua orang seakan tertawa entah kepadaku atau pada kenyataan hidup yang memberatkan ini. Setelah ritual tertawa itu sudah selesai dua pelayan datang memberi menu yang dibawanya. Aku melihat menu dengan seksama berharap aku mendapatkan makanan yang cocok untuk hari ini. Kemudian memesan makanan pembuka dengan menunjuk nama Escargot yang yang kedua aku memesan Bouillabaisse. Pelayan mengangguk dan kemudian untuk minumannya aku memesan Sidecar. Pelayan sudah berlalu menuju meja mengantarkan pesanan kami. Aku berbincang dengan teman semeja ku. Mereka menanyakan apakah ada niatan ku untuk pulang kampung pada suatu hari nanti. Aku menjawab “Mungkin beberapa tahun lagi, setelah mendapatkan bidadari yang tersesat dari negara ku disini” Mereka tertawa dan aku pun lag-lagi dibuat bahagia oleh suasana akrab ini. Meja makanan sudah penuh dengan berbagai hidangan. Aku melihat jam tangan, dengan harapan waktu akan berjalan melambat untuk hari ini. Sebab mungkin itu doa dari teman-temanku juga bila melihat roman wajah mereka yang begitu bahagia yang jarang ku temui saat di dalam kantor.

Sebelum aku menyantap hidangan di depan mataku. Suara seperti loceng terdengar dari Pintu Restoran yang terbuka dan menandakan bahwa ada pengujung lainnya yang datang. Dengan sedikit antusias aku melihat siapa yang datang di balik pintu itu. Seperti biasa pelayanan menyapa dengan ramah, aku bisa melihat ada empat wanita yang dengan memakai jaket tebal warna hitam dan salah satu berwarna coklat dengan topi baret. Aku melihat mereka dan entah kenapa aku tertuju pada wanita berjaket coklat yang memakai topi baret itu. Warna kulitnya berwarna seperti ku, wajah dengan perpaduan timur dan barat serta mata berwarna biru dan beraksen campuran namun lebih mirip penduduk negara ini. Aku tahu karena aku juga memliki teman seperti dirinya. Mereka akhirnya duduk di meja sebelah kanan ku menghadap jendela besar mungkin dengan harapan bisa melihat pejalan kaki serta kendaraan yang berlalu-lalang. Aku bergumam mungkin ini bidadari tersesat yang aku bicarakan beberapa saat lalu.

Aku menyantap makanan dan disebelah kanan ku ada wanita yang setidaknya membuatku tak sendirian sebagai warga dunia ketiga dalam Restoran itu, walaupun ia peranakan bukan asli. Aku seperti mempunyai teman walau belum mengenal dan nyatanya semua itu hanya angan-anganku saja. Saat aku makan dan beberapa kali aku melirik Si Mata Biru itu. Jarak dengan dirinya hanya beberapa meter tak sampai membuatku mengalihkan pandangan dari dirinya. Saat aku melihat pejalan kaki atau hal diluar jendela, aku pun kembali melirik padanya. Setelah hidangan di anggap habis dan perut sudah kenyang meskipun tak berarti bagiku selain kedua mata yang sesekali tertuju pada dirinya. Teman ku berkata bahwa wanita tercantik di dunia mungkin salah satunya berasal dari negara ku. Kulit mereka enak dipandang dan mata mereka tajam seperti siap membius lelaki manapun bila melihatnya. Untuk sekali kesempatan aku berkata “Terkadang wanita negara ku tak percaya diri dengan warna kulitnya, namun tak semuanya seperti yang ku ucapkan, mungkin hanya wanita-wanita di kota besar saja yang berpikiran seperti itu. Dan penjualan krim pemutih di negara ku berkembang dengan pesat oleh iklan-iklan dari negara kalian.” Kemudian teman ku tertawa dengan perkataan ku seakan membenarkan itu semua. Kami pun tertawa lagi.

Sesuai dugaan ku, waktu telah berjalan lebih cepat dari biasanya, sudah hampir dua jam aku  dan teman-temna ku berada dalam Restoran. Dan sudah selama satu jam aku bisa memandang wanita itu. Aku melirik ke arahnya dan kemudian aku berpaling. Atau mungkin tindakan itu sebagai bentuk intimidasi kepada wanita atau pun teror. Dan aku tak ingin membuat dirinya risih. Aku yakin dia juga tahu bahwa aku memperhatikannya dari tadi. Wanita sudah tahu dengan semua sikap serta maksud lelaki. Mereka makhluk dengan tingkat kesensitifan lebih tinggi dibanding pria dan sesungguhnya di dunia ini. Itu salah satu pelajaran saat aku membaca sebuah buku saat santai di kantor ku. Aku menanyakan kepada teman ku“Apakah ada acara lain lagi setelah kita makan?”. Dan mereka mengajak untuk mengunjungi dan memilih salah satu dari dua nama cafe yang populer di kota ini. Mereka dan tentunya aku juga sepertinya ingin terus bersama karena hanya dengan ini tak ada jarak antara atasan dan bawahan. Dan dampak positifnya adalah bagi keakaraban kami sendiri. Kemudian setelah Kepala Redaksi kantor kami membayar semua makanan. Kami bergegas keluar dari Restoran menuju cafe yang kami sepekati tadi. Mungkin yang aku sesalkan pada hari itu adalah tak bisa melihat lagi wanita bermata biru itu.


***


Setelah hari minggu kemarin, aku sudah tiga hari tak keluar dari kamar. Bukan karena malas, namun lebih tepatnya; ada pekerjaan yang harus ku diselesaikan secepatnya. Dan aku yakin pekerjaan ini tak akan selesai dalam empat hari sesuai dengan mandat dari Kepala Redaksi. Hari Kamis aku belum juga selesai dan tentunya saja Kepala Redaksi memberi kompensasi kepada ku sampai hari Jum’at dengan selepas itu tak ada lagi sebuah kompensasi. “Kita ini semua bekerja atas kebutuhan dan tanggung jawab perusahaan, Nak. Aku harap kau pun memaklumi dengan bijak dan reputasi kita akan dipertaruhkan jika pekerjaanmu tak tepat waktu dan tentunya baik.” Itulah kata Kepala Redaksi ku, karena beberap bulan lagi negara ini sedang menuju pemilu, pastinya semua kantor berita menjadi sibuk setiap waktu. Dan semua divisi akan dibuat sibuk. Yang terpenting dari semua itu adalah dimana aku harus bisa mengatur emosi agar tak meledak-ledak. Dan setelah hari jum’at berlalu kini tak terasa minggu kembali akan datang. Nanti malam aku akan keluar entah sendiri atau dengan teman kantor ku. Aku keluar dari rumah sewa pada jam 8 malam. Suasana tentunya sudah sangat ramai di sepanjang ruas jalanan dan tentunya hampir semua cafe di tepi jalan sudah padat oleh antrian yang mengekor dari ujung ke ujung. Aku berjalan sendiri menuju Les Deux Magots dengan harapan masih ada tempat disana. Dan kalaupun penuh tentunya pelayan cafe akan memberiku tempat duduk di lain sudut tempat itu. Aku melihat pelayan cafe yang sudah cukup kenal dekat dengan ku. Ia bernama Marquez, pria asal Amerika Latin yang mengaku sudah jatuh hati pada kota ini selama sepuluh tahun terakhir. Aku mengetahuinya beberap waktu lalu saat kami berbincang diwaktu senggang, meski aku yakin cafe ini tak pernah ada kata senggang kecuali saat kesempatan yang langka dan kesempatan itu adalah saat cafe akan tutup.

Aku sudah sampai  di Les Deux Magots. Dan aku melihat Marquez dari depan meja kasir membawa menu seperti biasanya. Ia sudah menyambut ku dengan ramah “Bonne nuit, mon meilleur ami” aku pun menjawab dengan ramah “Bonne nuit aussi mon, ami” dan aku kemudian berkata “Je message comme d'habitude, ami” Ia mempersilahkan ku duduk disamping bangku kosong bersebelahan dengan wanita yang ku amati sedang membaca buku The Sun Also Rises dalam terjemahan bahasa inggris karya Hemingway dengan begitu seksama dan membuat ku pun senang bahwa aku mempunyai teman berbincang setelah 6 hari di rundung kejenuhan dengan pekerjaan. Aku kemudian duduk dan terkejut setelah aku mengamati wanita itu ternyata si mata biru yang aku lihat minggu siang saat berada di Restoran Au Pied de Cochon. Kini hanya beberapa jengkal saja ia berada di depan ku. Setelah Café Allongé avec du lait à coté dan satu porsi Tarte Tatin telah datang dari tangan Marquez dengan senyuman ramah khasnya. Dan mempersilahkan ku untuk menikmatinya dengan berkata“heureux de profiter, mon ami” dan aku pun membalasnya dengan “merci, mon ami”. Dan Marquez pun berlalu kembali menjadi pelayan yang baik untuk semua orang. Setelah beberapa lama aku terdiam dan dibuat ragu untuk menyapa wanita itu, akhirnya aku memilih menyapa dirinya “bonne nuit, dame” dan ia akhrinya melihatku serta berucap “Selamat malam, Tuan” dengan ia tertawa kecil kepadaku. Aku hampir malu dengan sapaan darinya kepadaku. Dan setelah sapaan yang cukup mengejutkan kan itu aku bertanya dan memastikan bahwa kita pernah bertemu dengan dirimu dan ia menjawab demikian juga dengan kata yang membuat ku tersipu malu. 

“Dan kau yang memperhatikan ku saat di Restoran itu.” Kata Wanita itu padaku
“Ya, memang benar. Dan aku sekarang menjadi malu kepadamu.” Kataku
“Tak usah malu, anggap saja kita sudah saling kenal, bedanya kita berkenalan di Negara orang.” Ia tertawa kecil sambil menutup bibir merahnya dengan tangan kanan sembari tangan kirinya memegang buku.
“Kau benar, Nona. Mungkin perkataanmu benar.” Kata ku mencoba menetralisir keadaan.
“Jadi kenapa kau datang kesini? Apakah kau bekerja di kota ini?” Ia bertanya padaku sambil meminum kopi yang di gengam tangan kanannya dengan pelan dan menawan.
“Iya, aku bekerja di kota ini.” Jawabku
“Kau bekerja sebagai apa disini?”
“Aku bekerja menjadi penerjemah di salah satu redaksi koran kota ini.”
“Oh, iya. Tak ku sangka kau bekerja sebagai penerjemah.” Kata wanita itu padaku
“Kalau kau sendiri bekerja atau hanya buang-buang uang disini, nona?” Tanyaku dengan sedikit tertawa.
“Aku mungkin tersesat disini. Mencari sesuatu yang aku anggap tak pernah ku temui dimana pun.”
“Semua orang yang ketemui pun menjawab demikian. Apakah kau sangat suka dengan buku yang kau baca itu, nona? Kataku
“Saat aku membaca buku ini, aku seperti membayangkan menjadi Hemingway yang menghabiskan waktunya disini, merenungi hidup dan meski aku membenci dengan caranya ia mengakhiri hidup ini.”
“Orang besar biasanya mati dengan cara yang hampir tak terduga. Dan mungkin saja ia tak menghendaki mati dengan cara seperti itu. Sangat tragis”
“Memang benar. Namun bagiku semuanya harus berjalan seperti kodrat yang dijalani manusia. Tapi kematian itu terdengar sebagai bentuk pesimis pada kehidupan.” Kata wanita itu kembali
“Aku menjadi ngeri dengan kata kematian, namun semua orang akan mengalaminya cepat atau lambat.”
“Iya, benar sekali. Lupakan soal kematian itu sekarang. Kita cukup mengenal karya Hemingway saja dan bukan bagaimana cara ia mengakhiri hidupnya.”
“Oke, Nona. Aku setuju. Namun semua orang hanya membicarakan bagaimana cara ia mengakhiri hidup ini.”
“Mulai saat ini kita jangan membicarakannya lagi. Oke.” Ia tertawa dan aku mengangguk. 

Hampir 3 jam kami berbincang. Dari satu topik menuju topik lainya. Hingga gerimis telah mengguyur kota ini. Alunan musik kembali ku dengar saat kami berbincang dari dalam cafe itu tembang Je ne regrette rien oleh Edith Piaf. Menjelang pukul 11 malam Marquez sudah tak begitu sibuk oleh pekerjaannya, ia duduk disebalah ku seperti biasanya saat menjelang tempat ini akan tutup. Ia ternyata sudah mengenal wanita ini pada lima hari lalu. Marquez berkata bahwa wanita ini sudah jatuh cinta pada semua yang ada di kota ini, kecuali musim dinginnya. Marquez pun bercerita bagaimana ia dahulu menjadi orang asing dinegeri ini, seperti halnya aku dahulu. Awalnya sangat sulit namun seiring berjalannya waktu ia menjadi terbiasa. “Tak ada yang sulit bila kita mau belajar” Kata Marquez kepada kami. Ia juga menyukai semua karya dari Hemingway dan Faulkner, karena ia juga terinspirasi dari lost genertion dalam memandang hidup kecuali dengan cara matinya  Hemingway dan malangnya akhir hidup dari Faulkner. Bagi Marquez kenapa ia pergi dari kampung halamananya karena disana hanya ada sebuah pemimpin yang diktator dan hanya ada satu cara, yaitu sebuah Revolusi yang mampu memberikan perubahan. Dengan sedih ia berkata kepada kami, sebenarnya suatu hari nanti ia akan kembali lagi menuju tanah kelahirannya. Sebelum itu terjadi ia ingin mempunyai rumah di negara ini walau ia tahu semua itu hanya impian belaka.

Gerimis telah reda, aku bisa melihat malam panjang itu sudah berubah menjadi dini hari mingggu. Marquez sedang bersiap merapikan kursi, meja dan semua peralatan cafe sebagaimana biasa ia lakukan. Wanita itu pun memasukan buku novel ke dalam tas berwarna hitam dengan merk terkenal negara ini Louis Vuitton Malletier. Mungkin ia mencintai produk produk negeri ini atau memang ia adalah sosialita keturunan negara ku yang kebetulan berlibur di negara ini. Aku mengamatinya dari tadi dan sebelum aku sadar, wanita itu berkata “Tas ini memang mahal, aku diberi gratis. Tak sepeser pun aku mengeluarkan biaya, kecuali makan, minum dan menginap di kota ini.” Ia tertawa dengan tangan kanan menutup bibir merahnya itu. “Kau memang terlalu sensitif untuk hal-hal seperti itu, Nona.” Kata ku padanya. Sesaat setelah aku membayar kopi dan makanan di kasir untuk bersiap pulang dengan mengejutkan ia berkata “Karena ini sudah masuk minggu pagi, bagaimana jam 7 malam nanti kita bertemu kembali di Cafe De Flore. Aku harap kau tak menolak permintaan ku, Tuan.” Ia tertawa kembali kali ini tak menutup bibirnya yang merah.
“Dengan senang hati, Nona. Kalau besok turun badai pun aku akan tetap menemui disana.” Kata ku dengan tertawa juga. “Baik lah, Tuan berkulit sawo matang. Aku tunggu besok di tempat itu.” Ia berkata dan berpamitan padaku untuk pulang. “bonne nuit, dame, senang berbincang dengan mu.” Ia pun berkata “bonne nuit, monsieur” . Ia sudah berlalu di telan dini hari kota ini.

Aku telah sampai dalam kamar rumah sewa ku. Aku bukannya tak memiliki teman dalam rumah sewaan. Di kamar kanan ku terdapat seorang suami-istri bernama Margarito dengan istrinya bernama Isabella dan ditemani seekor anjing jantan berjenis Labrador Retriever berwarna putih. Di samping kiri ku dekat tangga seorang lelaki berumur 40 tahun bernama Miguel yang sangat pendiam bahkan aku tak pernah tahu suaranya, kecuali hanya senyuman atau anggukan yang aku terima saat aku menyapanya. Ia tak memiliki keluarga atau pun hewan peliharaan. Namun aku tak pernah melihatnya murung, kecuali saat cuaca sedang tak bersahabat, bukan hanya dia yang murung, namun hampir  dipastikan semua penghuni kota juga dalam kemurungan. Kemudian tepat di depan kamar ku ada lelaki ku taksir umurnya lebih tua dari ku 4 tahun, namun aku bertanya sebernarnya umurnya sama dengan ku. Ia bernama Yaqub, pemuda imigran dari Aljazair yang sudah tinggal ketika aku menginjakan kaki di negara dan kota ini. Di antara ketiga teman rumah sewa ku, aku sering berbincang dengan Yaqub. Biasanya 2 kali atau 3 kali dalam seminggu, baik di dalam kamar ku maupun di kamarnya. Yang aku tahu ia bekerja di sebuah Restoran seberang jalan sana sebagai kasir ataupun terkadang sebagai pelayan. “Kasir dan Pelayan sama saja, karena kita bukan bos.” Kata Yaqub dengan tertawa saat aku tanyakan apa pekerjaanya. Yaqub menceritakan kepada ku awalnya ia pergi menuju negara ini bersama keluarganya, dimana mereka berpikir peruntungan akan hadir dinegara ini, entah berdagang atau menjadi apapun karena negara ini memperlakukan imigran dengan baik seperti juga jerman. Itu ceritanya sebelum perubahan kebijakan terjadi di negara ini terhadap pembatasan imigran. Kini keluarganya tinggal di dekat pelabuhan, berada di kota seberang dengan waktu tempuh sekitar 3 jam bila melalui jalur darat dan ia memilih untuk hidup mandiri dengan pekerjaan yang ia tekuni sekarang. “Kau percaya kawan, aku pulang hanya saat hari raya, selebihnya aku tak pernah pulang dan beruntung aku mempunyai teman sepertimu. Walau kita hanya berbincang. Kau salah satu teman terbaik ku.” Ia berkata demikian padaku dengan bahasa negara ini namun tak menghilangkan aksen kental Arab-nya. Dan lagi-lagi teman ku, Yaqub berkata padaku “Apakah kau akan pulang dan tak pernah kembali ke negara ini lagi, sobat?” Aku dibuat kaget dengan pertanyaan itu yang sudah ku jumpai beberapa kali dalam rentan beberapa hari lalu. “Mungki saja sebentar lagi, Sobat atau mungkin lebih lama lagi.” Kata ku kepada dirinya dengan ringan tapi membuat dirinya terkejut. “Mungkin, penghuni rumah sewa akan merindukan mu.” Jawab dia padaku. “Mungkin yang merindukan hanya kau, Margarito dan istri dan mungkin Miguel.” Jawabku terkekeh. “Ya, sobat kau memang pandai bergaul dan ramah. Dan efek baiknya adalah semua orang baik pada mu.” Kata Yaqub. “Aku berusaha ramah, karena aku sadar aku juga orang asing dinegara dan kota ini, Sobat.” Kata ku saat aku mengingat percakapan dengan Yaqub pada beberapa hari lalu.

Pagi itu aku mencoba tidur, namun entah kenapa bayangan Wanita itu seakan berkelebat di pikiran ku. Senyumnya membuat ku tersipu dan wajah peranakan dua ras itu merupakan suatu daya tarik lain bila ku lihat jauh lebih dekat. Dan setelah aku berpikir cukup lama pada akhrinya aku menyimpulkan bahwa yang membuat ku sulit terlelap adalah senyumannya dengan gincu merah itu. Aku seperti kembali pada sebuah rasa yang purba, namun itu seperti aku seperti mengenal rasa ini. Rasa yang sama dan hampir dua tahun lamanya kini hadir kembali. Dua tahun lalu aku mencintai seorang wanita; yang sebagaimana sekarang sudah hidup bahagia dengan pilihannya. Namun semua telah berjalan dengan sebagaimana mestinya. Bumi harus terus berotasi bersamaan juga berevolusi. Begitu juga dengan hidup ku, tak mungkin terus berkubang dengan masa lalu, itu semua sudah usang. Tak terasa sudah dua jam lamanya ketika melilhat jam beeker dan di buat tak berdaya oleh sihir senyum wanita itu. Meskipun samar, suara lalu lalang orang masih terdengar dari luar jendela ku. Dan beberapa saat kemudian bunyi hujan telah datang membuat kaca jendela berembun. Setelah udara dingin menyusup masuk  kamar, kali ini aku benar-benar bisa tertidur.

Sesuai dengan kesepakatan pada jam 7 malam nanti aku dan wanita itu bertemu kembali di Cafe De Flore. Sebelum menuju tempat itu, di depan cermin aku bergumam mengamati dengan seksama bagaimana wajah ku yang biasa tak pernah berubah kecuali saat tersenyum dan orang-orang akan berkata bahwa aku mempunyai senyum semanis krim keju atau apapun namanya. Dicermin aku mengamati penampilan ku dari ujung kaki sampai ujung rambut dengan teliti serta yakin tak ada sesuatu menempel di setelan ku, bahkan debu seperti tak ada saat ku lihat dengan seksama. Sepatu ku tampak mengkilap dan rambutku tercukur rapi dengan minyak rambut yang membuat kelimis bagai pria yang telah berkunjung dari rumah kecantikan. Sebelum aku beranjak keluar, aku suara ketukan pintu, tak salah lagi itu ketukan di pintu kamar ku. Satu kali ketukan tak aku gubris dan dua kali membuat ku cemas dan ketiga kalinya aku mengintip di celah dan aku segera membukanya. Dan seorang manusia ada didepan ku berkata “Ayo, jangan berdandan terus.” Ia tertawa kepadaku namun bibirnya dibiarkan saja seakan memperbolehkan ku untuk melihatnya dengan puas.

Aku telah sampai di Cafe De Flore saat aku sadar bahwa Pablo memandang ku ramah serta dengan sapaan hangat seorang sahabat dan lagi-lagi seperti Marquez ia berkata “Bonne nuit, mon meilleur ami” dan seperti biasanya aku menjawab dengan kata tak kalah ramah dari dirinya “Bonne nuit aussi mon ami”. Wanita itu berkata padaku bahwa aku termasuk golongan pria ramah yang pernah ia temui. “Banyak orang ramah seperti ku di muka bumi, namun tak pernah melihat Wanita misterius sepertimu diman pun.” Jawab ku. “Kali ini kau tak terlihat ramah sekali, Tuan berkulit sawo matang.” Ia berkata namun tak tertawa. Setelah Pablo mempersilahkan ku duduk dan ia pamit pergi mengambil daftar menu; dengan cepat ia sudah ada dihadapan kami berdua. “Seperti biasanya saja, Pablo, kawanku.” Aku memesan menu seperti biasa yang aku pesan setiap berkunjung kesini. Wanita itu pun demikian memesan seperti apa yang ku pesan pada Pablo. Setelah Pablo menulis pesanan, ia sama ramahnya seperti Marquez menyuruh kami untuk menunggu dan tentunya ia kembali di telan kerumunan pengunjung cafe ini. “Aku sebenarnya membenci keramian, Tuan.” Kata wanita itu padaku. “Aku pun sama saja tak suka pada keramian. Namun bersama mu bukan soal bagiku.” Jawab ku setengah bercanda kepadanya. “Aku pun demikian, Tuan. Aku merasa seperti Albert Camus di kota ini dengan semua sifat pemberontakannya.” Ia berkata seakan mengalihkan pembicaraan. “Kau bukan bagai Albert Camus, Nona. Namun mungkin seperti Jean Paul Sarte.” Kata ku kepadanya dengan menatap wajah wanita yang ada di depan ku. “Aku tak mudah dirayu olehmu, Tuan berkulit sawo matang.” Ia berkata dan kemudian tertawa. Aku diam dan tak menjawab apapun selain hanya memandangi wajah itu. Sesaat kemudian Pablo datang membawa nampan yang terisi pesanan kami. Ia membungkuk kan badan dan dengan ramah mempersilahkan kami untuk menikmati hidangan itu. “Merci, mon pote” Kata ku pada Pablo. “Merci, mon pote” Kata Pablo dan tak berkurang rasa ramahnya sedikit pun padaku.

Wanita itu bercerita kenapa ia bisa tinggal dinegeri ini. Dari kecil ia hidup di Negara Republik ku. Ia pun berpenduduk dan berpasport sama seperti ku. Ayahnya ternyata berasal sama dari kota asalku. Pada usia 25 tahun Ayahnya memutuskan menikah dengan Ibunya yang berasal dari Negara ini. Dan tentunya pilihan itu telah dipikirkan secara matang-matang mengingat kebudayaan serta keyakinan mereka berbeda. Ayahnya dengan budaya timur yang kental dan Ibunya dengan budaya baratnya yang dilihat sangat bebas. 1 tahun kemudian lahir lah dirinya di dunia ini. Walau pertentangan masih terjadi terutama dari keluarga Ayahnya. Hingga pada saat usianya menginjak 18 tahun Ayah dan Ibunya memutuskan untuk pindah ke kampung halaman Ibunya, yaitu Negara ini. Tak terasa sudah 7 tahun ia berada di Negara ini. Namun ia baru beberapa hari tinggal disini. Ketika Aku menanyakan apa pekerjaan Ayah dan Ibunya dengan enteng ia menjawab. “Aku bangga dengan pekerjaan Ayah ku namun untuk Ibuku sepertinya ia terkena fitnah.” Aku melihat matanya berkaca-kaca setelah aku menanyakan hal itu padanya. Aku mengambil sapu tangan yang diselipkan pada saku celana ku dan memberikannya kepada dirinya. Di luar dugaan ia hanya menjawab “Aku hanya terlalu akrab dengan kesedihan, Tuan. Dan saat ini aku hanya mengingat itu. Teman dan keluargaku adalah kesedihan.” Aku hanya terdiam oleh perkataannya. Untuk beberapa saat kami terdiam. Kemudian aku menanyakan dari mana ia mengetahui rumah sewa ku. “Aku mengikutimu, saat pulang tadi pagi. Aku memutar dan menunggumu pulang. Menguntitmu dari beberapa jarak langkah agar kau tak merasa di ikuti.” Jawabnya membuat ku kaget. “Untuk apa kau mengikuti ku, Nona.?” Jawab ku dengan heran. “Karen aku ingin saja, Tuan.” Kata Wanita itu sembari tersenyum. Pablo berjalan menuju kami. Ia duduk di depan kami. Dan itu menandakan bahwa ia sedang tak terlalu sibuk atau mungkin karena ia membutuhkan teman untuk berbicara. Ia memberi tahu kepada kami bahwa kami seperti pasangan. Ia berkata kami serasi. Aku dengan kulit sawo matang dan wanita itu dengan kulit langsat khas peranakan campuran dua ras. Aku hanya tersenyum dan wanita itu pun tersenyum. Pablo berkata kepada ku sama seperti Marquez saat tempo hari. Ia mengenal wanita sudah 5 hari yang lalu dan sudah jatuh cinta pada kota ini melebihi siapa pun, kecuali saat musim dingin. Kemudian Pablo melayani kembali pembeli yang baru datang. Aku berkata pada wanita itu. Bahwa Pablo dan Marquez berasal dari negara yang sama dan mereka berteman. “Aku sudah tahu, Tuan” Kata wanita itu dan seakan meledek ku.

Pada suatu kesempatan sebelum kami pulang aku menanyakan siapa namanya namun ia hanya tertawa kepadaku dan berkata “Tak penting sebuah nama bila kita bisa saling bertemu,Tuan.” Aku kembali dibuat terpesona oleh ketenangan sikapnya, seperti seorang wanita yang bisa membuat lelaki dimanapun bertekuk lutut dan rela berkorban demi mendapatkan cintanya. “Kapan kita bisa bertemu lagi, Nona?” Tanya ku padanya. “Mungkin besok, lusa atau tak sama sekali.” Jawab dia dengan enteng. “Kalau malam ini sebagai pertemuan terakhir kita, sebelum kita pulang aku ingin mengajak mu jalan-jalan, Nona.” Kataku setengah meledek. Setelah aku selesai membayar pesanan  dan berpamitan dengan Pablo, kami berjalan keluar, tanpa berpikir lagi aku gandeng dan genggam tangannya dengan cepat. Dia nampak tenang saat tangan halus itu ku gandeng.. Udara dingin pun seketika berubah menjadi hangat saat kami berjalan dengan tangan ku kini sudah memeluk pinggangnya dan tangannya pun berada disamping pinggang ku. Kami berjalanan dengan perasaan yang tak pernah  terbayangkan kembali; setelah dua tahun aku lalu kini darah seakan dipompa lebih cepat dari biasanya.
Pada pertigaan jalan, Wanita itu memutuskan untuk berpamitan denganku. Tak ada sebuah kecupan atau pelukan perpisahan, meskipun aku mengaharapkannya. “Selamat jalan dan malam, Tuan berkulit sawo matang.” Kata dia. “ Selamat malam, semoga ini bukan yang terakhir kalinya bertemu dengan mu.”  Ia tak menjawab dengan kata apapun, hanya sebuah senyuman menyungging dari bibirnya. Aku berbelok ke kiri dan ia berjalan lurus. Sebelum ia berlalu terlalu jauh aku berteriak “Dimana kau tinggal, Nona?” Ia menoleh kepadaku dan suaranya tetap terdengar merdu walau ia berteriak “Itu tak penting, Tuan.” Kemudian ia berlalu. Aku pun tersenyum dan mengguman “Wanita penuh misteri,  sayangnya ia sudah membuatku jatuh hati.” Aku berjalan menuju rumah sewa dengan ragu dan dengan semua rasa yang bercampur menjadi satu. Entah kenapa aku seperti tak mengenali letak rumah sewa ku. Ternyata setelah tersadar bahwa aku sudah melewati pintu masuk rumah sewaku. Aku kembali berbalik dan menggumam kenapa dan apa yang terjadi pada ku. Dan entah kenapa secara tiba-tiba ku dapati diri ku sudah berada di dalam kamar. Semuanya begitu aneh dan murung ketika aku baringkan tubuhku dan mata ini memandang langit-langit kamar. Aku mengamati semua sudut ruang, dari jendela, kemudian pintu lalu buku yang tertata rapi di rak, juga semua benda yang berada dalam kamar tak luput dari pandangan mataku. Kemudian bangkit dari tempat tidurku aku melihat diriku lewat cermin. “Tak ada yang aneh dalam diriku” Kata ku pelan dengan mata membelalak seakan marah dan rasa aneh mengepungku. Aku bergegas membasuh muka dan kemudian menggosok gigi, berbaring tidur. Namun tak seperti bayangan ku bahwa aku akan sulit tidur; nyatanya mata ku telah terpejam.

Jam beeker berdering. Aku membuka mata dan beberap saat aku dengar suara ketukan pintu. Mungkin Yaqub akan meminjam buku ku seperti biasanya, karena ia tahu aku sudah bangun pada jam 7 pagi atau Margarito yang membutuhkan bantuan ku mencari dimana anjingnya atau sekedar menawari ku roti buatan istrinya, Issabella. Aku bergegas bangun untuk membuka pintu. “Aku membuatkan sarapan untukmu, Tuan.” Ia telah berada di depan ku. Wanita itu masuk setelah aku memberikan isyarat pada dirinya. Ia menuju meka makan. Merapikan meja itu serta meletakan sarapannya di atasnya. Aku hanya diam mulutku tak bisa berbicara apapun, selain rasa kaget yang menyerang kesadaran ku di pagi ini. “Cepat mandi lah, Tuan. Kau mau kena marah oleh bosmu?” Ia berkata dan sepertinya sudah siap membereskan semua sarapan ku. “Dengan segera aku akan mandi, Nona.” Kataku yang bergegas menuju kamar mandi. Dari dalam kamar mandi aku mendengar ia sedang bersiap menjarang air untuk membuatkan kopi untuk ku. “Wanita, aneh itu sebenarnya waras atau tidak.” Gumamku saat aku mengeringkan diri dan bersiap memakai pakaian. Setelah selesai dan aku anggap sudah rapi aku mengamatinya sedang duduk seakan menanti ku untuk segera sarapan bersama. “Cepat lah, Tuan, sebelum nasi goreng ini kedinginan dan kemudian ia terkena flu” Ia berkata seperti meledek diriku yang lamban. “Iya, Nona. Akan aku habiskan hanya dengan waktu 5 menit saja.” Jawabku dan menghampiri dirinya. Sendok, piring dan segelas kopi sudah tertata rapi. Iya menyilahkan ku makan. Tanpa waktu lama aku menyambar nasi goreng telor mata sapi itu. “Enak sekali, Nona. Apakah ini buatanmu.” Kata ku. “Iya. Dan aku mencampurkan racun di dalamnya.” Katanya dingin. Aku seakan tersedak oleh perkataannya. Namun dengan cepat ia berkata lagi “Aku mencampuri dengan Racun rasa sayang ku padamu, Tuan.” Iya kemudian tertawa. “Aku mati pun tak apa, asal sudah sarapan dengan nasi goreng buatanmu, Nona.” Kemudian ia tertawa. Setelah nasi goreng itu habis aku meminum kopi. Aku melihat jam tangan ku telah berubah menjadi pukul 7.45 pagi. “Aku mau berangkat, Nona. Aku tak mau kena marah oleh bosku.” Kata ku pada dirinya. “Aku ikut mengantar mu, mungkin besok aku lupa pernah datang mengunjungimu.” Setelah berkata seperti itu, ia membereskan semua perkakas, meletakannya pada dengan rapi pada tas kecil yang ia bawa. Kami turun dengan ia menggandeng tanganku. Yaqub dan Margarito ternyata sedang berbincang di lorong dekat tangga. Dan Miguel keluar dari kamar. Aku menyapanya seperti biasan dan tentunya ia hanya menganggguk kemudian tersenyum. Yaqub berkata kepada kami “Kalian serasi dan semoga Tuhan memberi jalan kebahagian pada kalian.” serta Margarito tak luput mendoakan kami “Semoga terus bersama sampai maut memisahkan kalian. Amiin.” Aku dan wanita ini hanya tersenyum dan tak berucap apapun.

Kami menuruni anak tangga dan sudah di depan pintu masuk rumah sewaan. “Rumah sewamu mungkin buruk, tapi tidak dengan para penghuninya, Tuan.” Kata dirinya dengan memandang ku. “Itulah mengapa aku betah disana sampai bertahun-tahun, Nona.” Kami berjalan saling mengenggam tangan. Orang melihat kami mungkin beranggapan sebagai sepasang pengantin baru atau setidaknya pasangan yang romantis, atau mungkin sebagai orang yang sedang dimabuk oleh cinta. Namun bagiku ini semacam sesuatu yang aneh, misterius dan ganjil bila aku rasakan. Kantor sudah terlihat dari dekat. Saatnya aku dan wanita itu berpisah. 
“Sampai jumpa, Nona. Terima kasih atas racun sayang itu. semoga harimu menyenangankan. Dan kapan kita bisa bertemu lagi?” 
“Sampai jumpa juga, bila racun sayang itu sudah menyebar maka kau akan rindu dengan ku. Entah lah, Tuan.” Ia tertawa dan melambaikan tangannya padaku seolah ada sebuah pesan darinya.


***

Tanpa di duga dan mendadak pada hari itu aku diberi tugas untuk melakukan liputan di luar kota. Kurang lebih selama 3 hari. Dan tentunya apapun mandat dari Atasan adalah sesuatu yang mutlak untuk ku laksanakan walau dengan setengah hati. Itu lebih baik daripada tak melaksanakanya sama sekali. Namun aku harus izin untuk pulang terlebih dahulu guna menyiapkan perlengkapan selama liputan 3 hari itu. Kepala Redaksi tak keberatan atas permintaan ku dan ia pun menyarankan demikian. Aku mengetahui penugasan mendadak itu karena orang yang biasa bertugas meliput sedang terbaring di rumah sakit lebih dari dua hari. Kemudian dengan pertimbangan matang-matang akhirnya aku yang menggantikannya. Awalnya aku keberatan dengan penugasan itu, namun mau bagimana lagi, hampir satu kantor bahkan pegawai kebersihan kantor ku setuju bahwa hanya aku yang pantas pergi meliput berita itu. Canda Kepala Redaksi kepadaku yang tak membuat ku tertawa sedikit pun. Di samping pertimbangan lainnya adalah kepada Si Wanita itu. Dunia seolah berjalan begitu menyenangkan akhir-akhir ini. Seolah terasa adil bagiku, setelah  dua tahun hidupku dalam kemurungan. Aku seperti tak tenang bila 1 hari saja tak bertemu dengan dirinya. Sudah dipastikan selama kurang lebih 3 hari ke depan aku tak pernah bertemu dengan dirinya. Atau memang aku tak akan bertemu dengan dirinya sama sekali.

Setelah mendapatkan izin dari Kepala Redaksi untuk pulang menyiapkan baju serta barang lainnya. Aku menulis selembar kertas untuk pesan atau setidaknya pemberitahuan kepada wanita itu, bahwa aku sedang diberi mandat untuk meliput selama 3 hari di luar kota. Aku sudah memberi tahu kan wanita itu bahwa kamarku tak pernah dikunci. Siapa saja boleh mengunjungi kamar sewaku. Saat ia bertanya akan meminjam buku ku. "Kamarku tak pernah dikunci. Tak ada hal berharga di dalamnya, kecuali koleski buku ku. Nona." Kata ku pada Nona tanpa nama itu."Pada suatu hari nanti aku akan mengunjungi kamarmu, Tuan. Tepatnya saat kau sedang pergi bekerja."Kata Nona tanpa nama itu, padaku. "Aku harap itu benar terjadi, Nona." Jawab ku.

“Salam hangat.

Nona manis dengan segala yang kau punya. Dengan semua keindahan yang melekat padamu tanpa cela kecuali sikap misterius itu. Aku tak bermaksud meninggalkan mu pergi atau membatalkan sebuah janji meskipun kita tak pernah berjanji atas hal apapun, Nona. Aku memberitahukan semua ini hanya murni bahwa aku tak berpaling atau mengkhinati mu, meskipun aku ragu untuk apa juga aku akan berkhianat serta berpaling darimu. Aku pun tak tahu apa sebenarnya rasa yang bersarang di dalam hatiku sekarang. Selama 3 hari atau mungkin lebih aku ditugaskan oleh Kepala Redaksi untuk meliput suatu berita di luar kota. Aku tak bisa menolak atau menghindarinya meskipun aku yakin tak pernah bisa kecuali keluar dari pekerjaan yang menyenangkan ini. Menyenangkan bila aku sedang bahagia dan sebaliknya bisa berubah menjadi bencana bila aku tak mengerjakannya sama sekali. Bila kau sempat menemukan tulisan ku ini yang terletak di atas meja dibawah rak buku-buku koleksi ku; yang dengan harapan agar kau membacanya, Nona. Dan hal yang ku benci, bahwa sampai sekarang aku tak pernah tahu siapa namamu serta tempat tinggalmu? Meskipun aku sangat setuju dengan jawaban mu, Nona. ‘Apa lah arti sebuah nama dan itu tak penting’ Awalnya itu jawabannya yang menyebalkan namun juga itu meyakinkan ku bahwa dirimu adalah wanita langka dan berbeda dari semua wanita yang pernah ku temui. Dan tentunya yang pernah ku gandeng tangannya saat udara dingin menyelubungi kota ini. Saat aku pulang nanti izinkan lah aku bertemu kembali dengan dirimu, Nona. Aku tak memaksa apalagi memohon darimu. Tidak, tidak Nona. Aku bukan lelaki seperti itu. Haha.
Dan tahukah kau, Nona. Ada hal yang membuatku sulit tidur selama beberapa hari ini. Itu bukan tentang pekrejaan ku atau lainya, melainkan; itu adalah dirimu, Nona. Ya, Senyum mu seolah menari-nari di dalam batok kepala ku. Membuatku berkeringat dingin serta mengigil bila ku ingat kembali bahwa senyuman itu berasal dari bibir merahmu, Nona. Aku akan berangkat nanti setelah pukul 7 malam. Tiada kata yang pantas aku ucapkan untuk semua yang kau punya dan semuanya adalah hal terbaik untuk diriku dalam waktu belakangan ini saat aku bertemu dirimu.

Salam hangat dan peluk dari ku, untukmu. Nona tanpa nama.
Dari Tuan berkulit sawo matang”


Awalnya aku sama sekali tak percaya pada sebuah takhayul atau hal yang tak masuk akal lainnya. Dan setelah serangkain banyak kejadian yang membuatku berasumsi bahwa hidup terkadang tak selogis yang kita pikir. Banyak hal membuatku heran, disuatu waktu aku bahagia dan diwaktu lain aku nestapa. Tepat setelah aku berangkat pada jam 7 malam karena tugas meliput di kota selama 3 hari. Kini Nona tanpa nama itu perlahan-lahan hilang dari benak ku. Pada hari pertama entah kenapa Nona tanpa nama itu hadir dalam mimpiku, aku melihat dirinya tersenyum padaku dan kemudian ia berkata “Aku akan pergi jauh meninggalkan mu.” Aku tersontak, kemudian terbangun, meyakini itu hanya sebuah mimpi buruk belaka. Saat itu dua teman sekamar ku memberi ku nasihat agar berdoa untuk keselamatan diriku dan juga orang yang ada dalam mimpiku. “Terima kasih, Sobat.” Jawab ku. Aku kembali tertidur dan ternyata mimpi itu tak kunjung datang, kecuali suara yang pelan namun terdengar jelas berkata kepadaku “Aku akan pergi jauh meninggalkan mu.” Aku yakin itu suara Nona tanpa nama. Apakah mungkin aku rindu kepadanya. Semua ini terasa menyedihkan dari pada seorang lelaki yang merindukan wanitanya. Namun tetap saja dia bukan lah siapa-siapa ku dan tentunya aku juga bukan siapa-siapa untuknya

Malam pertama aku lewati dengan mimpi dan bisikan Nona tanpa nama itu. Semua tampak menyenangkan saat peliputan hari pertama di luar kota ini. Adalah temanku yang bernama Wiliam dan Muller. Aku kenal mereka dari pertama bekerja disini. Mereka sangat ramah kepadaku dan tentunya aku juga ramah pada semua orang. Karena hidup hanya sekali sangat lah merugi bila tak memiliki banyak sahabat. Itu lah pesan Ibuku saat aku memutuskan bersekolah dan bekerja di negara ini. “Jangan kau sombong pada orang, Nak. Kita ini berasal dari tanah dan semua tanah tak mungkin bisa terbang. Akan kembali lagi menyatu dengan Tanah. Dan untuk apa kita harus lebih tinggi dari tanah.” Temanku yang bernama William berasal dari Belanda dan Muller berasal dari Jerman. Malam itu di dalam kamar penginapan kami berbincang dan aku mencoba bercerita kepada mereka tentang Nona tanpa nama itu. Aku sebenarnya sering bercerita kepada mereka namun karena kesibukan mereka sebagai orang lapang dan aku dikantor; mungkin waktu 3 hari ini akan aku gunakan sebaik mungkin agar mengakrabkan pertemanan kami kembali. William juga bercerita padaku bahwa ia mempunyai pasangang namun entah akan menikahinya atau tidak, sebab orang tuanya tak menyetujui hubungannya dengan wanita yang ia cintai. “Mungkin setelah aku pulang, aku akan pergi melamarnya. Dan kemudian kami akan menikah dan hidup berbagia. Meskipun kedua orang tua ku tak merestui hubungan kami.” Kata William. 
“Kau nekat, Sobat. Jangan demi seorang wanita, kau korbankan orang yang merawatmu sejak kecil. Masih ada jalan tengah dalam masalahmu” Kata ku menanggapinya. 
“Kenapa orang tuamu tak merestui hubungan mu, Sobat.” Kata Muller dengan heran. 
“Iya mungkin aku salah dan aku mungkin bukan anak baik. Namun aku sudah terlanjur mencintainya. Karena ia janda anak 1 yang ditinggal mati suaminya saat perang.” Jawab William dengan dalam. 
“Aku tak tahu dengan apa yang harus ku jawab, tapi setidaknya itu pilihan dan soal perasaanmu juga. Sobat.” Kata ku. 
“Mungkin kau harus berbicara baik-baik dengan orang tuamu. Sobat. Aku yakin bila semuanya atas dasar kasih, tak ada di dunia ini yang tak membutuhkan cinta. Batu sekeras apapun pasti akan hancur terkikis oleh air. Kita ibaratkan air adalah sebuah cinta yang tulus dan terus-menerus. Tak peduli selama apapun, asal kau berusaha pasti hancur. Begitu juga sikap orang tuamu pada wanita pilihanmu itu. Hanya dengan kasih sayang kau pasti akan bahagia, selain juga kau mempunyai uang” Muller berbicara bagai seorang pujangga yang penuh humoris. 
“Baik lah, Sobat. Semuanya akan aku bicarakan dengan baik-baik. Dan apapun hasilnya nanti semoga itu yang terbaik bagiku.” Kata William dengan yakin.
“Kalau kau bagaimana Muller? Di balik dirimu yang melankolis itu pasti ada banyak cerita menyertaimu. Aku yakin itu.” Kata ku pada Muller. 
“Hahaha. Aku sungguh baik-baik saja. Jauh lebih baik dari hari-hari kemarin. Sobat. Aku sepertinya terkena kutukan. Wanita yang aku cintai meninggalkan ku dan ketika aku mencampakan wanita  yang aku anggap benar-benar mencintai ku.” Kata Muller padaku. 
“Mungkin itu adil, Sobat. Kau memanen apa yang kau tanam. Sekarang semuanya nampak jelas bagimu. Wanita yang kaucampkan juga seperti halnya wanita yang mencampakanmu. Apa bedanya?”. Kata William dengan penuh semangat. 
“Aku memang terkadang tolol. Aku merasa semuanya tak adil. Tapi aku tak pernah melihatnya dari sudut lain. Mungkin ini akan menjadi malam yang panjang bagi kita, Sobat. Haha.” Kata Muller pada kami. 
“Tanpa merusak suasana yang akrab ini. Sobat. Aku setuju dan sebaiknya kita pesan sesuatu untuk menambah hangat percakapan ini.” Kata ku pada mereka. 
“Kau benar sekali. Aku akan pesan sesuatu. Ada saran?” Kata William kepada kami. 
“Aku memasan bir dingin. Kalau kau apa. Sobat?” Kata Muller padaku. 
“Aku memesan sebotol air mineral saja dengan 1 porsi kentang gorenag. Karena aku tak minum.  Bila nanti kalian mabuk maka aku harus waras. Sebab besok pagi kita akan ada liputan. Sobat.” Kata ku pada William dan Muller. 
“Haha, Kau memang teman yang mengasikan. Berpikir jauh. Ya, sudah aku akan memesan dua botol bir dingin, 1 botol air mineral dan 1 porsi kentan goreng.” Kata Muller pada kami. 
“Ya, sobat. tepat sekali. Kata ku dan William dengan anggukan. Malam itu kami habiskan dengan saling bercerita hingga larut. Dan hari itu juga aku bisa melupakan sejenak bayangan senyum Nona tanpa nama itu.

Aku tertidur paling pertama pada malam itu. Bukan karena aku tak ingin melanjutkan obrolan kami. Namun aku berpikir bahwa ada orang yang harus ‘waras’ saat bangun nanti. Hingga mimpi itu pun kembali datang pada hari kedua. Mimpi itu sama persis seperti hari pertama tidur ku. “Aku akan pergi jauh meninggalkan mu.” Ia hadir kembali dengan kata-kata itu. Dan setelah memejamkan mata kembali aku mendengar “Aku akan pergi jauh meninggalkan mu.” tepat suara itu jelas membisik pada telinga ku. Bila memang itu hanya mimpi belaka, namun kenapa dua kali berturut-turut terjadi. Dan aku bersumpah apabila itu datang kembali di hari ketiga, maka aku akan melamar Nona tanpa nama itu. Bukan sebab aku kesal atau marah. Namun yang aku takutkan bila itu memang terjadi. Aku tak pernah di buat takut oleh mimpi seperti ini sebelumnya. Aku seolah dibuat penasaran lebih dari apapun oleh mimpi 2 kali berturut-turut itu. Jam di kamar penginapan kami sudah menunjukan pukul 6 pagi. Aku membangunkan William dan Muller. Aku melihat ada 6 botol bir di atas meja sebelah tempat tidur mereka. Dan bau nafas seperti kencing kuda kata teman-temanku pada suatu saat bercerita tentang bau dari bir. Jam 8 pagi kita akan melakukan liputan di hari ke dua. Aku memesan sarapan untuk mereka, lalu aku bergegas mandi. “Kau dimana sekarang, Nona tanpa nama.” Gumam ku seolah ingin bertemu dengannya. Entah ingin karena dua mimpi itu.

Hari ketiga sudah di ambang malam. Sepertinya setelah liputan yang melelahkan itu kami seperti bisu di dalam kamar. William sedang membaca majalah dan Muller menyelam dengan bukunya. Aku memutuskan untuk keluar penginapan untuk mencari suasana baru. Bukan tanpa sebab aku keluar dari penginapan, saat aku di landa kesepian pasti lah aku membayangkan dua mimpi itu. Dan aku berharap suasana di luar penginapan bisa melupakan semua kemurungan, meskipun semakin aku tak mencoba mengingatnya maka bayangan itu malah hadir begitu cepat menyerangku. Aku di buat jengkel oleh semua perasaan ini. Hingga tanpa sengaja langkah ku terhenti di depan sebuah toko kecil disamping jalan, mengamati sebuah topi yang dijual tepat di dalam etalase toko. Dan sialnya setelah ku amati topi itu mirip yang dikenakan oleh Nona tanpa nama. Aku berharap keluar penginapan bisa melupakan sejenak bayangan tentang dirinya; kenyataannya aku mendapatkan penderitaan yang berbeda. Beberapa saat kemudian aku tersadarkan oleh suara pejalan kaki. “Maaf, Tuan jangan berhenti di tengah jalan.” Aku meminta maaf. Dan tanpa pikir panjang lagi aku segera kembali menuju penginapan dengan semua pikiran yang tak karuan menjerat ku. Saat melihat wanita dengan tas hitam sedang memesan sebuah kamar aku kembali teringat oleh Nona tanpa nama itu. Entah mengapa malam itu aku seakan diteror oleh semua yang bisa atau tanpa sengaja mengingatkan dengan dirinya. Setelah aku menuju kamar. William dan Muller sudah tertidur; mungkin karena liputan sangat melelahkan di hari kedua ini. Setelah aku menggosok gigi dan cuci muka. Aku pun dilanda kantuk dan tak sampai beberapa lama aku pun sudah tertidur.

Aku dan Nona tanpa nama, sedang duduk bersama di taman bunga pusat kota “Aku Ingin meramal mu, Nona.” Kata ku dengan mantap.
 “Kau tak usah meramal ku, Tuan. Sebab sebentar lagi aku akan pergi. Jauh sekali meninggalkanmu.”  Kata Nona tanpa nama kepadaku dengan santai.
“Kenapa kau tega meninggalkanku sendiri, Nona?”
“Sebab aku mencintai, Tuan.
“Apakah mencintai memang tak harus memiliki. Nona.”
“Itu perkataan konyol dan omong kosong, Tuan. Mana mungkin ada cinta seperti itu. Itu hanya takhayul.”
“Lantas kenapa kau pergi meninggalkan ku, Namun kau juga tahu aku mencintaimu?”
“Sebab kita sudah berbeda dunia, Tuan. Aku sudah tenang di dunia ku, kau juga harus tinggal di duniamu. Tuan.
“Apakah kau sudah mati. Nona.?”
“Aku belum mati dan tak pernah mati. Selama kau hidup, aku akan selalu ada di pikiranmu. Tuan berkulit sawo matang.” Setelah ia berkata; Nona tanpa nama pun menghilang di depan mataku. Kemudian mataku terbuka dan meyakini bahwa itu adalah mimpi belaka. Keringat dingin mengucur dari tubuhku. Aku melihat jam dinding menunjukan pukul 4 pagi. “Ya, Tuhan jika tadi hanya mimpi tentunya pasti ada pesan tersiratnya. Entah dalam bentuk apapun.” Gumam ku. “Besok aku akan menemui Nona tanpa nama itu. Entah dimana pun ia berada aku akan datang untuk dirinya.”

Hari ketiga aku hampir tak bisa fokus atas pekerjaan ku. William dan Muller yang sepertinya mengamati tingkah aneh ku kemudian bertanya
 “Kau sedang ada apa? Ada masalah serius kah?” Kata William dan aku pun tahu Muller juga akan berkata sama
“Aku ingin segera pulang, menemui seseorang.” Kata ku. “Pasti Nona tanpa nama itu kan.” William menimpaku. “Aku lihat kau cemas dan murung.” Kata Muller dan aku membenarkan peryataannya. “Kalau liputan ini nanti sore selesai. Malam ini kita akan pulang.” Kata Muller “Demi. Sobat ku.” Kata William mantap. 
“Terima Kasih. Sobat” Kata ku. Tanpa terduga badai musim dingin tengah melanda kota ini. Aku melihat pada tanyangan televisi di dalam kamar penginapan kami. Waktu sudah pukul 6 sore. Dan niat kami akan pulang pada jam 7 malam atau 8 malam. Namun tak disangka badai seketika datang. Membuat pupus harapanku untuk pulang. Karena memang beresiko andai kami memaksakan pulang. Disamping itu semua transporti untuk semenntara waktu berhenti beroperasi. Khawatir dengan segala kemungkinan terburuk. Aku dan kedua teman ku hanya bisa menunggu kapan badai musim dingin akan reda. “Kita beruntung sudah di dalam penginapan. Aku tak bisa membayangkan saat kita masih di luar sana.” Kata Muller. “Kita bisa mati beku.” Kata William. “Menyedihkan dan mengenaskan.” Kataku. Malam itu kami habiskan untuk berbincang mengenai hal apapun yang dirasa menarik untuk kami bicarakan. Sambil kami berbincang dan melihat prakiraan cuaca di televisi, sekitar 10 menit kemudian listrik pun padam. Semua jaringan komunikasi terganggu pada waktu itu. “Badai yang menakutkan.” Kata Muller. Pikiran ku pun tak kalah gelapnya seperti suasana di dalam penginapan.

Malam ketiga aku lewati dengan badai dan mimpi itu sudah tak datang. Mungkin sudah malas kepadaku atau bisa jadi mimpi itu hanya sebuah lelucon saat tidur. Kini tepat hari ke empat aku berada di luar kota bersama teman-teman ku. Pagi itu jam menunjukan pukul 9 tepat. Setelah itu hal yang tak terduga terjadi. Tentunya tak ada yang lebih baik dari listrik telah menyala kembali dan tentunya kabar bahwa badai telah usai. Melihat prakiraan cuaca kembali adalah seperti saat kau menunggu lotre. Mencemaskan namun juga sebagai sebuah candu. Tak ada yang mengejutkan ku bahwa ramalan cuaca hari ini masih seperti hari kemarin, dengan status sedang ataupun terburuknya dengan status awas. Dan pembawa berita menghimbau agar semua warga yang terkena dampak badai tak melakukan aktifitas apapaun di luar rumah kecuali benar-benar dirasa sangat penting dan tentu saja semua transportasi dihentikan untuk sampai waktu yang tak ditentukan. “Mungkin kita akan terjebak disini selama satu minggu atau lebih.” Kata William. “Benar. Sobat. Kemalangan telah melanda kita.” Timpal Muller. “Semoga kota kita tak parah. Sobat.” Kata ku sambil mengingat bagaimana keadaan Nona tanpa nama itu. “Amiin.” Jawab Muller dan William bersama.

Tak terasa sudah lima hari kami dan semua tamu masih terjebak di dalam penginapan. Tak ada kabar dari Kepala Redaksi. Entah karena tak ada sinyal atau memang badai sedang menerjang dengan ganas di kota kami. Semoga kekhawatiran ini tak menjadi-jadi dan hanya sebuah kepanikan semata. Beberapa saat kemudian sebuah berita terkini muncul. Kota kami ternyata juga di landa badai yang bahkan jauh lebih dahsyat dibanding kota ini. Menurut laporan ada 10 korban meninggal dan 5 orang telah teridentifikasi dan 5 orang lain menyusul proses identifikasi dan mungkin membutuhkan waktu dua jam lagi akan selesai. William dan Muller nampak begitu pucat mendengar berita itu. Aku pun panik namun tak ku perlihatkan kepada mereka, karena aku tahu bahwa memperlihatkannya sama saja membuat suasana menjadi semakin buruk. Di luar kamar terdengar bunyi gaduh. Aku dan kedua temanku mencoba melihat apa yang terjadi. Untuk memastikannya kami bertiga keluar kamar. Tak disangka di depan ruang penerima tamu telah ramai dengan banyak pengunjung penginapan. Mereka tampak panik, ada yang marah dengan terus memaki kepada keadaan serta anak kecil tak berhenti menangis menambah suasana menjadi tak karuan. Hati kecil ku seakan ikut larut dengan mereka. Seorang Ibu nampak menengkan anaknya yang sejak tadi menangis. “Semua akan baik-baik saja, Nak. Tuhan selalu bersama kita.” Kata ibu pada gadis kecilnya. “Amiin.” Jawab ku.

Setelah dua jam menunggu di dalam kamar, akhirnya kabar yang kunanti muncul. Berita tersebut sudah merilis 10 daftar korban meninggal akibat amukan badai. Satu persatu nama beserta jenis kelamin, umur serta asal negara dengan lengkap dibacakan serta ditampilkan oleh pembawa berita. Aku mengamati dengan seksama siapa tahu dan aku berharap tak terjadi apapun dengan para sahabatku di sana. Dari 10 korban yang sudah dirilis kembali, memang tak kutemui nama serta ciri-ciri lainnya yang menegaskan bahwa salah satu korban itu adalah dari para sahabat ku. Serta aku yakin tak ada nama wanita yang selalu ku cemaskan, meskipun juga aku tak tahu nama Nona itu sama sekali. Dada ini terasa lega dan kedua temanku pun sudah tak terlalu khawatir seperti saat sebelum berita terbaru rilis. Di dalam kamar kami seolah tak mempunyai waktu untuk saling berbicara. Semuanya nampak bagai sesuatu yang tak utuh untuk kami terima. Kenyataan membuat kami selalu dalam bayang-bayang kesemuan oleh banyak hal lainnya. Aku mengusulkan kepada kedua teman ku. Bahwa sebaiknya waktu tidur di buat bergantian saja, agar setiap berita dari televisi kita tahu dan semuanya tak dipenuhi sebuah kecemasan. William dan Muller menyetujuinya. Aku memutuskan untuk tidur pertama, dimana masing-masing orang hanya tidur selama dua setengah. Itu sudah cukup daripada tak sama sekali. 

Mimpi itu datang kembali di hari ke lima saat aku tidur. Hanya singkat saja. Nona tanpa nama itu datang menghampiriku dengan menggunakan baju dan celana serba putih. Menyala dengan terang dan Ia berkata padaku. “Jaga dirimu baik-baik. Tuan. Aku akan berpamitan lewat mimpi. Semuanya akan menjadi cerita untuk kita berdua” Kemudian ia menghilang. Merasa ada yang tak beres dalam tidurku William dan Muller membangunkan ku sesaat kemudian . “Ada apa Sobat.” Kata William padaku. “Aku bermimpi buruk.” Jawab ku. “Berita kembali hadir tepat setelah dua jam kau tidur.” Kata Muller. “Apakah ada korban baru?” Jawab ku. “Tak ada apapun hanya badai sudah mereda dan mungkin nanti pagi, siang atau malam hari kita bisa pulang. Kata William. “Benar. Sobat.” Kemudian William izin untuk tidur. “Kau juga tidur lah, Muller. Tidur lah. Biarkan aku terjaga sendiri.” “Baiklah. Sobat bila itu maumu.” Kata Muller, tak sampai 10 menit ia telah tertidur karena sesungguhnya kantuk telah menyerang kedua sahabat ku itu. Pukul 7 pagi matahari telah kembali bersinar dengan terang sebagaimana senyum telah kembali menghiasi kota ini. Kami semua tersenyum dengan apa yang membuat kami merasa bahagia; karena sudah 3 hari kami bersama badai. Tepatnya pada jam 9 pagi kami akan pulang. Setelah membayar tagihan selama 6 hari dirumah penginapan kami pun menuju bergegas menuju stasiun. Kami tak percaya akhirnya keadaan seperti sedia kala. 

Kondisi kota tempat tinggal ku saat ini tak lain bagai sebuah cerita yang memilukan. Ada beberapa pohon tumbang, daun-daung yang berserakan, ranting kecil ataupun dahan telah memenuhi jalan, bagai ada sebuah raksasa yang telah mengamuk selama 3 hari lalu. Semua yang kulihat seakan tak mempengaruhi ku. Bahwa semua akan berlangsur seperti semula. Semuanya memang kehendak alam. Satu yang membuatku gelisah adalah sekarang aku ingin segera berada dalam kamar sewaan ku. Tak ada perubahan berarti ketika aku berada dalam kamar. Kecuali kaca jendela seperti retak-retak. Entah akibat dari badai atau memang karena aku yang tak memperhatikan kaca itu sejak dari dulu. Serta selembar kertas yang ku tulis masih tetap berada di atas meja, tak ada perubahan sama sekali masih seperti saat 6 hari lalu. Tak ada tanda-tanda kedatangan seorang pun. Bahkan kecoa pun tak aku dapati melintas di ubin kamar sewaan. Mungkin benar Nona tanpa nama itu telah pergi sebelum sempat datang dan membacanya. Lalu pertanyaanku sekarang adalah dimana Nona tanpa nama itu? Apakah dia telah pergi dari kota ini, atau malah Negara ini? Mungkin keduanya benar dan mungkin juga keduanya salah. Karena aku belum tahu mana yang pasti. Dan setidaknya bila seseorang pergi mestinya, sebuah salam perpisahan adalah kado terbaik dari pertemuan singkat antara kita berdua. Meski aku tak tahu apakah sebuah salam perpisahan adalah hal termanis dalam kehidupan ini.

14 hari setelah aku pulang tak pernah ku dengar kabar lagi serta tanda-tanda dari Nona tanpa nama itu. Dan selama 14 hari pula aku tak pergi keluar untuk mengunjungi cafe yang dijaga Pablo ataupun Marquez, sebab ada 50 berkas telah menumpuk untuk dikerjakan. Aku sudah hampir melupakan Nona tanpa nama, karena aku yakin bahwa ia juga dengan mudah pergi tanpa sebuah pesan. Serta untuk apa aku harus mencari keberadaannya. Buang-buang waktu. Awalnya aku mengira ia adalah wanita yang datang untuk mengobati luka masa laluku. Ia ternyata penakluk semua lelaki, tak terkecuali aku yang harus bersedia bertepuk sebelah tangan. Keluguannya hanya sebuah kedok dengan semua kamuflase yang dimainkannya dengan apik. Aku dibuat tolol oleh semua tingkah lakunya. Semua pesonanya. Ia menghempaskan ku dari tempat paling tinggi. Kemudian jatuh sampai membuatku hancur tak tertahankan.

Pada jam 8.45 pagi saat aku sudah terbangun di hari libur setelah 15 hari badai telah berlalu. Dari arah pintu kamar sewaku terdengar ketukan. Satu kali, tok tok. Dua kali tok tok. Tiga kali tok tok. Kemudian aku berjalan membuka pintu. Apakah ketukan itu dari Nona tanpa nama? lagi-lagi aku dibuat bingung dengan pertanyaan ku sendiri. Aku berjalan membuka pintu kamar sewaku dengan banyak pertanyaan dalam kepala ini. kembali ku dikejutkan oleh dua sosok sahabatku Pablo dan Marquez.
“15 hari setelah badai yang sangat buruk. Masuk lah. Sobat?” Kata ku.
“Kenapa kau tak pernah mengunjungi kami?” Kata Marquez
“Kami mengkhawatirkan mu. Aku kira kau sudah mati” Kata Pablo sambil menyerahkan sebuah koran.
“Apa ini?” Kata ku.
“Baca saja. Nanti kau pasti tahu.” Kata Marquez singkat dengan muka yang dingin.
“Hari ini aku memang belum membaca koran dan tak tertarik dengan apapun. kecuali kedatangan kalian berdua mengunjungiku.”
“Ini bacalah.” Kata Marquez seakan menyuruhku sambil menunjukan berita yang harus ku baca.
“Untuk apa. Itu berita tentang kematian anak dari mantan walikota. Tidak penting buatku. Aku tak mau membaca berita itu..” Mereka berdua hanya terdiam padaku. Kemudian aku membaca dan melihat sebuah tulisan dengan nama Michella Austin Farero Suwiryo meninggal. Apa yang membuat berita itu menjadi sebuah hal yang penting bagiku. Tidak sama sekali.

Hingga suatu ketika setelah perkenalan singkat itu, aku mengetahui wanita itu dengan nama ‘Michella Austin Farero Suwiryo’. Mayat itu ditemukan setelah dua minggu di dalam kamar. Hampir tak ada yang dikenali kecuali dengan tahi lalat di atas bibirnya. Dan juga sebuah cincin bermotif kupu-kupu pada jari yang dikenakan mayat itu. Aku kemudian tak membaca koran itu sampai selesai. Namun dengan sadar apa yang dituliskan koran itu adalah ciri-ciri mayat yang membuat mengingat kembali. Dan samar-samar gambaran itu muncul kembali. Aku terhentak dan tak bisa menyembunyikan kesedihan ku. Badan ku gemetar serta gigi ini bergemeretak. Pablo dan Marquez seakan terdiam dengan sikap ku. Aku sudah yakin mayat wanita itu adalah Si Nona tanpa nama yang aku tahu namanya setelah ia benar-benar tak pernah ada lagi. Setelah dilakukan pemeriksaan pada mayat itu; diketahui bahwa ia mati karena overdosis obat tidur. Mungkin ia terkena insomnia akut. Ternyata semua mimpi itu adalah sebagai tanda bahwa ia akan pergi untuk selamanya.
“Kau tahu. Sobat. Bagaimana ia mendatangi kami pada dua hari sebelum badai?” Kata Pablo.
“Ia. wanita malang itu. Datang menemuiku dan Pablo di waktu yang sama dengan tempat yang berbeda. Semoga Tuhan memberkatinya.” Kata Marquez.
“Ia mendatangi kami lalu memberi alamat tempat tinggalnya.” Pablo dengan gemetar memberi tahu ku.
“Dan ini yang membuatku heran. Wanita itu berkata bahwa ketika dalam waktu 14 hari ia tak datang berkunjung ke cafe kami, maka ia menyuruhku untuk mendatangi tinggalnya. Kemudian ia menuliskan alamat tempat tinggalnya dan dengan iba ia memohon padaku serta mengingatkan ku kembali. Tak hanya aku, ternyata Pablo pun didatangi wanita itu di hari yang sama dan malam yang sama juga dengan permohonan yang  sama-sama mengibakan.” Kata Marquez
“Dan 14 hari itu adalah hari kemarin. Kami di buat hampir gila. Dan ia datang pada mimpi kami. Dengan berkata. ‘Temui lah, Tuan yang pergi ke tempat ini bersama ku.” Kata Pablo menjelaskan kepada ku dengan masih badan yang bergetar.

Aku hanya terdiam dan seakan batin ini terguncang dengan hebatnya. Aku pun menceritakan pada mereka berdua, bahwa semalam aku pun bermimpi bertemu dengan Nona tanpa nama itu. Ia berkata bahwa aku akan mengetahui kabarnya dari Pablo dan Marquez saat pagi nanti. Aku hanya menduga mimpi itu hanya sebuah bunga tidur belaka, karena aku sudah benar-benar melupakan dirinya. Hinga pada pagi ini aku benar-benar kembali mengingat dirinya. Mengingat kembali bahwa ia telah pergi bersama kisah yang memilukan serta dengan semua takhayul yang mengiringinya. Aku melihat dari ada sosok lelaki mendekati kami. Itu adalah Yaqub. “Aku semalam melihat wanita yang dulu pernah mengunjungimu. Ia nampak bersedih dan saat aku menyapa dirinya, ia hanya terdiam, seakan ada hal ganjil dalam dirinya.” Kata Yaqub yang mengejutkan kami. Setelah Yaqub selesai dengan pembicaraannya. “Hai, Sobat ku, Yaqub. Bacalah koran ini.” Kata ku kepada Yaqub dan menyodorkan koran itu kepada dirinya. Setelah ia membacanya dan ia menanyakan dengan bingung untuk apa dia harus mengetahui berita itu. “Itu wanita yang kau lihat semalam. Sudah mati sekitar dua minggu lalu.” Ia nampak pucat dan mulutnya berkomat-kamit seperti orang yang sedang meracau. Dan ia segera duduk di atas dipan ku sambil memegang kepalanya dengan kedua tangannya. “Ada ramai-ramai apa ini, Nak.” Suara itu tentulah kepunyaannya Margarito. Ia bersama istrinya dan anjingnya dan setelah sesaat kemudian Issabella berkata “Tadi pagi aku bertemu dengan wanita yang bersamamu beberapa minggu lalu.” Dan Miguel pun datang menemui kami, ia hanya berada di depan kamarku. Iya tak berkata apapun. Hanya memandang dari depan pintu bahwa semua yang ada dikamar nampak sendu dan murung. Kecuali Margarito dan istrinya juga anjing mereka. Aku menyodorkan ke dua koran itu pada mereka. Dan beberapa saat Margarito bertanya padaku “Siapa perempuan yang mati ini?” Itu wanita yang kau lihat pagi tadi. Tuan Margarito. Ia dan istrinya terkejut bukan main dan diam dengan memandang sendu padaku. Miguel pun untuk pertama kalinya berkata padaku “Tadi malam aku melihat wanita yang kau gandeng beberapa waktu lalu, berjalan mondar-mondir di depan kamarmu. Sebelum aku bertanya. Ia seakan sudah tahu apa maksud ku dan berkata. ‘Aku sedang menunggu, Tuan penghuni kamar ini.’ kemudian wanita itu turun ke tangga. Dan setelah itu aku tak melihatnya kembali.” “Semoga kau tenang disana, Michella Austin Farero.” kata Margarito. Semua serentak berkata “Amiin". Begitu juga dengan Anjing milik pasangan Margarito, iya mengonggong seakan ikut mengamini ucapan ku.


20 April, 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagas yang sedang kasmaran.

 Di suatu siang terik saat jam menunjukan angka 13.00. Bagas berjalan menerjang panasnya matahari yang membuat ubun-ubunnya terus berdenyut. Langkahnya seakan lebar untuk bisa sampai tepat waktu karena pada jam 13.50 dia ada sebuah kelas. Memang jarak tempat dia kost dan kampusnya tidak jauh. Namun yang dikhawatirkan oleh dia bukan panas atau pun lainnya, melainkan ada tugas perdana dari dosen yang belum sempat dia kerjakan. Tugasnya tak susah, hanya meringkas sebuah jurnal yang ditulis tangan 1 lembar kertas A4. Bisa jurnal nasional ataupun luar negeri. Namun pesan dosen akan lebih kalau dari luar negeri. Dalam pemilihan judul pun dibebaskan oleh dosen asal jangan melenceng dari disiplin ilmu yang dia pelajari. Dengan nafas terengah dan tubuh seakan bermandikan keringat dia sudah sampai di depan kelas. Masih ada waktu 35 menit baginya untuk mengerjakan pekerjaan kuliahnya.              Dengan cekatan dia mengelurkan selembar kertas A4 ya...