Langsung ke konten utama

Kembali Mengingat bagian 1

     Semuanya hanya lah sebuah titipan bila bagas memahami semua yang menimpanya pada masa silam dan waktu sekarang. Ucapan dari ayah bagas sangat membekas dalam palung jiwanya. Seorang bapak dengan jiwa besar telah memberinya pelajaran tentang hidup. Mengajari tak ada ketentuan di bumi ini yang tak ada garis titahnya. Baik soal rezeki, jodoh maupun maut. Ketiganya menjadi rahasia semesta hidup. “Gas? untuk menjadi manusia itu sangat sulit, ayah saja belum paripurna menjadi seorang manusia. Mendekati saja belum bisa gas. Masih membutuhkan waktu lama, harus tahan akan semua cibiran atau nyinyiran orang. Berbuat darma kepada siapa pun pasti akan banyak penghalang di hadapan kita. Namun percaya lah setiap perbuatan buruk kepada siapa pun pasti akan menjadi sebuah malapetaka di kemudian hari.” Itu pesan dari sekian banyak wejengan ayah bagas kepada dirinya. Menjadi seorang anak yang dipandang oleh berbagai tingkatan strata masyarakat adalah sebuah kehormatan namun juga sekaligus sebagai ujian bagi bagas. Dari kecil bagas sedikit tahu akan kasih sayang ayah dan ibunya. Hidupnya banyak di isi dengan banyak orang di setiap harinya. Berbeda-beda tak seragam namun itu lah yang membuatnya sangat terkesan bila bertemu dengan orang banyak.

     Sejak masa kecil dirinya sudah terbiasa hidup di tinggal kesana kemari oleh ayah dan ibunya.  Satu minggu mungkin dia hanya bertemu 2 atau 3 kali saja dengan intensitas waktu terbatas. Karena memang ayah bagas dan ibu nya mempunyai kehidupan untuk di darmakan kepada seluruh masyarakat baik di desa maupun kota. Dari pencopet,pemabuk,penjudi tingkat kecil maupun kelas tinggi lainnya. Dari kalangan priayi, abangan, kyai, alim ulama maupun tokoh lintas agama lainya. Sempat di umur 12 tahun bagas menerima banyak tamu ayahnya yang sengaja berkunjung dari desa propinsi lain hanya untuk bertemu dengan ayahnya walau hanya untuk beberapa saat saja. Namun di antara yang membuatnya nelangsa adalah ketika dia melihat mata dan wajah orang desa yang kerap berkunjung di rumahnya. Dari tatapan matanya seolah penuh beban, tanpa harap, sunyi. Namun wajahnya sangat teduh dan enak dipandang daripada tamu berdasi necis, sepatu mengkilat jam mewah dan mobil keluaran baru dengan tatap bengis seakan siap melahap apa saja. Dari kecil bagas sudah bisa membedakan sifat orang dengan tatapan dan wajahnya saja. Kelebihan ini memang sudah di katakan ayahnya pada akan muncul pada dirinya. “Gas nanti kau akan tahu bagaimana sifat seseorang hanya dengan melihat matanya, kau jangan terkejut andai kata ada orang dengan penampilan enak dipandang namun sifatnya bagai binatang ataupun melebihinya dan sekali lagi kau juga jangan terkejut apabila bertemu dengan orang sederhana dalam bersandang namun mewah dalam sifatnya kepada sesama manusia. Semua bisa di pandang namun hati lah yang merasakan gas”.

     Bagas sadar benar mengapa ayah dan ibunya begitu sangat dicintai oleh semua masyarakat, semua suku, agama ataupun segala macam pekerjaan orang. Ada kalanya dirinya bertanya dalam hati “Aku seperti tak memiliki orang tua dalam hidup ini. Seperti anak tiri saja diriku”. Tak lama kemudian ayahnya menemui bagas dalam lamunan akan semua pertanyaan pada diri anaknya itu. Seperti sudah tahu isi hati anaknya saja. “Gas, ayah tahu kalau selama ini kita jarang berkumpul dan menghabiskan satu hari saja untuk bercengkrama. Di umur mu sekarang ini kau harus belajar tentang kehidupan. Semua yang ayah dan ibu lakukan adalah semata untuk pengabdian kami kepada Tuhan untuk sesama. Tak ada niatan dari ayah dan ibu untuk melihat mu terus gelisah ataupun sedih setiap harinya. Percaya lah kelak kau akan tahu dengan sendirinya apa yang ayah ibu lakukan semata karena panggilan jiwa kami sebagai manusia saja”. Bagas terus saja terdiam namun ayahnya mengerti kelak anak ini akan menjadi penerusnya atau pun melebihi pencapaian.

       Sepertiga malam seperti biasa bagas bangun untuk bersembahyang. Langkahnya pelan namun mantap untuk menuju tempat berwudhu. Air dingin pada malam itu tidak membuatnya mengigil namun disadari atau tidak mampu menghilangkan dan mengusir rasa kantuknya. Sebelum dia pergi online dengan Tuhan serasa dirinya telah segar karena antusias bahwa beban pikirannya bisa tersalurkan dengan perantara rangkain ibadah malam. Setelah selasai sembahyang badannya tepekur, kedua tangannya menengadah dengan tetasan air mata membuat khusuk dan kudus setiap panjatan doanya. Bagas teringat dengan perkataan ayahnya bahwa manusia memang mahluk lemah dan Tuhan lah pemilik semua kehidupan. Dari non materi dan materi Tuhan lah maha perkasa dari yang perkasa. Agaknya bagas merasa dirinya adalah mahluk sekecil debu di belahan tempat jauh. Mahluk yang diada-adakan ada, makhluk yang sebenarnya tak ada namun mengklaim bahwa ada. Awal pencuptaan manusia adalah mandati oleh Tuhannya untuk menjaga dan merawat bumi namun dengan rakus manusia lah pelaku perusakan dan eksploitas isi bumi. Yang dimana puncaknya adalah kehancuran. Lalu manusia setelah merusak bumi baru memikirkan bagaimana mengembalikannya seperti awal dan sangat radikalnya adalah mempunyai keinginan untuk berpindah planet bila bumi sudah kehilangan untuk dihisap segala inti sarinya. Apa sebenarnya mau manusia ini gas. Tutup ayahnya.

     Setelah selesai berdoa bagas melanjutkan dengan membaca kitab suci. Karena bagaimana pun setiap kali dia membaca dan mentadaburi setiap ayat Tuhan dirinya semakin hanyut dalam rasa yang tak bisa dilukiskan, begitu damai hatinya. Sejuk dirasanya. “Gas kitab suci itu adalah sastranya sastra dari Tuhan. Disitu kau bisa memaknai,mengggali dan menyelami semuanya dengan lengkap tentang segala hal”. Dan ayahnya selalu berpesan kepada bagas bahwa kita harus menunjukan kasih sayang,cinta dan ketulusan kepada semua mahluk. Biarkan orang lain mengklaim pembenarannya masing- masing. Kita menunjukannya dengan kasih sayang saja. Dengan penutup bacaan kitab suci, bagas seperti diberi jawaban akan semua pertanyaan yang menggelisahkan dirinya. Seperti sudah terjawab semuanya bahwa pengabdian ayah ibunya sangat mulia. Orang tuanya bukan hanya milik dirinya saja. Milik semua orang dengan banyak beban hidup yang menimpa mereka selama menahun. Milik orang tertindas, di dzalimi dari peradaban, di bunuh haknya, di kebiri hidupnya, di gusur dari tanahnya ataupun korban politik praktis para penguasa yang mengatasnamakan demokrasi dengan jargon pancasila, bhineka tunggal ika ataupun NKRI harga mati. Tak seberapa kekayaan orang tuanya namun selalu memberi tanpa pamrih, mencintai tanpa memilih, membesarkan hati tanpa merendahkan. “Ya Tuhan, beruntungnya aku mempunyai orang tua seperti mereka. Terima kasih Ya Tuhan”. Tutup bagus di penghujung doanya dengan air mata yang kembali mengalir deras di awal permulaan pagi”. Bersambung.

                                                                                                                                                                                            2 November 2017    





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagas yang sedang kasmaran.

 Di suatu siang terik saat jam menunjukan angka 13.00. Bagas berjalan menerjang panasnya matahari yang membuat ubun-ubunnya terus berdenyut. Langkahnya seakan lebar untuk bisa sampai tepat waktu karena pada jam 13.50 dia ada sebuah kelas. Memang jarak tempat dia kost dan kampusnya tidak jauh. Namun yang dikhawatirkan oleh dia bukan panas atau pun lainnya, melainkan ada tugas perdana dari dosen yang belum sempat dia kerjakan. Tugasnya tak susah, hanya meringkas sebuah jurnal yang ditulis tangan 1 lembar kertas A4. Bisa jurnal nasional ataupun luar negeri. Namun pesan dosen akan lebih kalau dari luar negeri. Dalam pemilihan judul pun dibebaskan oleh dosen asal jangan melenceng dari disiplin ilmu yang dia pelajari. Dengan nafas terengah dan tubuh seakan bermandikan keringat dia sudah sampai di depan kelas. Masih ada waktu 35 menit baginya untuk mengerjakan pekerjaan kuliahnya.              Dengan cekatan dia mengelurkan selembar kertas A4 ya...

Michella Austin Farero

Pada satu sudut pertemuan tiga jalan di pusat kota, sepuluh blok setelah Au Manoir Saint-Germain des Prés Hotel, lima blok dari rumah sewa tempat ku tinggal yang jarang terjamah atau suatu ketika pernah ramai pada saat kejadian yang membuatku agak takut untuk mengingatnya kembali. Aku memilih rumah sewa ini, tentunya selain karena harga yang bersahabat bagi kantong salah satu penduduk Negara Republik Asia Tenggara. Fungsi lain rumah sewa ku tentunya adalah sebagai benteng penghangat dari suhu rendah di musim dingin serta cukup kuat untuk menghalau amukan badai pada suatu ketika aku mengalaminya. Dan tentunya itu salah satu dari beberapa pengalaman buruk yang pernah ku jumpai saat pertama kali aku minginjakan kaki di negara ini.  Tentunya aku dituntut bekerja lebih giat, untuk memenuhi semua kebutuhan, namun itu lah keputusan yang harus diambil setiap hari kecuali pada hari minggu saat mental dan badanku butuh rehat sejenak. Dan sisi baiknya selain itu, tentunya semua je...